spot_img
Senin 15 Desember 2025
spot_img

Ancaman Bencana Tetap Tinggi, BPBD Garut Perkuat Mitigasi

GARUT, FOKUSJabar.id: Kabupaten Garut kembali menutup tahun 2025 dengan bayang-bayang status daerah rawan bencana. Berbagai kejadian (longsor, banjir hingga gempa bumi) menuntut kesiapsiagaan seluruh pihak. Karenanya, BPBD Garut mengevaluasi dan memperkuat strategi mitigasi terpadu menjelang tahun 2026.

Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Garut, Aah Anwar Saefuloh mengungkapkan, sepanjang tahun 2025 dihadapkan pada kejadian bencana hidrometeorologi yang signifikan.

BACA JUGA:

Muhammadiyah Garut Galang Donasi Bencana Sumatera Melalui Jalan Sehat

“Sepanjang tahun 2025, Garut mengalami sejumlah kejadian bencana hidrometeorologi. Seperti banjir bandang, banjir luapan dan tanah longsor di beberapa kecamatan,” katanya kepada FOKUSJabar.

“Meskipun tidak ada kejadian gempa bumi signifikan yang berpotensi merusak, ancaman tersebut tetap menjadi fokus utama mitigasi kami,” Aah Anwar Saefuloh menambahkan.

Dia menyebut, tahun 2025 menjadi ujian berat bagi Kabupaten Garut dengan serangkaian bencana yang menguji kesiapsiagaan dan ketangguhan infrastruktur.

Aah Anwar Saefuloh menyoroti tiga jenis bencana utama yang menimbulkan dampak signifikan. Yakni, pada Januari dan Februari terjadi bencana Banjir Bandang dan Banjir Luapan melanda wilayah padat penduduk (Kecamatan Bayongbong serta Cilawu).

Kejadian tersebut mengakibatkan lebih dari 200 rumah terendam, menimbulkan kerusakan sedang pada fasilitas publik dan memaksa 50 Kepala Keluarga (KK) mengungsi sementara ke lokasi yang lebih aman.

BACA JUGA:

Kebakaran Hanguskan 1 Rumah di Leles Garut

Memasuki pertengahan tahun, wilayah Selatan Garut. Termasuk Cikelet dan Pakenjeng menghadapi bencana tanah longsor.

Longsor terparah terjadi pada Mei-Juni yang dampaknya terasa luas karena memutus akses jalan utama provinsi selama lebih dari 48 jam.

Selain melumpuhkan mobilitas, bencana tersebut juga merusak tiga jembatan kecil yang vital sebagai penghubung antardesa serta  dilaporkan ada dua korban luka ringan.

Sementara itu, selama periode kemarau ekstrem Agustus dan September, Garut juga menghadapi bencana Kebakaran lahan dan hutan.

Area lereng Gunung Guntur dan Papandayan menjadi lokasi utama. Di mana sekitar 50 hektar hutan hangus.

Selain kerugian ekologis, kebakaran ini sempat mengancam pemukiman warga di kaki gunung dan menyebabkan gangguan signifikan pada kualitas udara di wilayah Garut Kota dan sekitarnya.

“Tiga kejadian ini menunjukkan bahwa dinamika bencana di Garut sangat dipengaruhi oleh cuaca ekstrem dan kondisi geografis. Penanganan tidak hanya fokus pada evakuasi, tetapi juga pada pemulihan jalur ekonomi yang terputus,” ungkap Aah.

Dia menekankan perlunya sinergi yang berkelanjutan dalam penanganan dan mitigasi bencana.

Menyadari tingginya ancaman gempa bumi, longsor dan banjir bandang, BPBD Garut telah menyiapkan program mitigasi terpadu yang menyasar seluruh lapisan masyarakat untuk tahun 2026.

Menurut Aah, penguatan kapasitas masyarakat menjadi inti dari strategi ini.

“Mitigasi terpadu sejauh ini diarahkan pada penguatan kapasitas masyarakat melalui program Desa Tangguh Bencana (Destana) dan Kecamatan Tangguh Bencana (Ketana),” jelas Aah.

BACA JUGA:

Sehari Tiga Aksi Penyelamatan, Damkar Garut Tangani Insiden Unik Non-Kebakaran

Program tersebut diperluas hingga ke tingkat terkecil. Yaitu Keluarga Tangguh Bencana yang diintegrasikan dengan gerakan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

“Kami juga memiliki program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) dengan regulasi yang terfokus pada mitigasi gempa bumi. Selain itu, kami melakukan evaluasi dan monitoring pada kegiatan Ketana yang tersebar di 42 kecamatan dengan fokus bervariatif. Termasuk sosialisasi mitigasi bencana,” tambahnya

Keterbatasan EWS dan Peran Sentral Kearifan Lokal

Terkait sistem peringatan dini, Early Warning System (EWS), Aah mengakui, sistem yang dimiliki BPBD Garut saat ini masih didominasi oleh EWS banjir dan longsor.

“Untuk EWS tsunami, kami belum memiliki instalasi khusus. Masyarakat di wilayah pesisir Selatan masih sangat mengandalkan kearifan lokal serta pengetahuan kebencanaan yang disosialisasikan oleh BPBD, instansi lain maupun relawan,” ungkapnya.

Kolaborasi juga dilakukan dalam pemantauan gunung api.

“Untuk EWS Gunung Api, kami berkolaborasi aktif dengan Pos Pengamanan Gunung Api setempat,” kata Aah.

Sementara itu, pemasangan EWS di lereng gunung atau potensi longsor masih terbatas pada beberapa lokasi.

“Di lokasi yang terpasang EWS, sejauh ini tidak menunjukkan tanda-tanda bahaya yang signifikan,” katanya.

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa sistem tetap berfungsi dan menjadi bagian penting dari kesiapsiagaan lokal.

Kesiapsiagaan dan Ketangguhan Infrastruktur

Untuk membangun ketangguhan menghadapi dampak perubahan iklim dan risiko bencana di masa depan, BPBD Garut memiliki dua pilar strategi jangka panjang.

  1. Penguatan Kapasitas Masyarakat

Penguatan kapasitas masyarakat dilakukan dengan intensifikasi edukasi/sosialisasi, penyebaran leaflet/buku saku serta pemasangan rambu jalur evakuasi dan papan informasi di titik kumpul/tempat evakuasi.

2. Mitigasi Infrastruktur Kritis

Terutama jalan dan jembatan, BPBD melakukan mitigasi atau penguatan sementara.

Hal krusial adalah kolaborasi dengan instansi teknis lain untuk melaksanakan kajian dan rekomendasi teknis.

BACA JUGA:

Bupati Garut Buka FEDAS Jalan-Jalan di Cigedug

“Kajian teknis dan rekomendasi ini akan kami jadikan naskah Nota Dinas yang disampaikan kepada pimpinan untuk mendapatkan arahan dan penanganan struktural lebih lanjut,” kata Aah Anwar Saefuloh.

Upaya ini menegaskan komitmen BPBD Garut untuk mengubah ancaman bencana menjadi peluang untuk membangun komunitas yang lebih siaga dan infrastruktur yang lebih tangguh di tahun 2026.

(Y.A. Supianto)

spot_img

Berita Terbaru