TASIKMALAYA,FOKUSJabar.id: Dugaan kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur yang menyeret seorang oknum kepala sekolah dasar negeri asal Tasikmalaya di kawasan wisata Pangandaran, mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan dan tata kelola pemerintahan daerah.
Peristiwa ini bukan sekadar perkara kriminal individu, melainkan sinyal keras atas kegagalan pengawasan Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dinas Pendidikan dalam melindungi anak-anak.
Publik dibuat bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang kepala sekolah, pejabat struktural dalam dunia pendidikan, diduga membawa lima anak perempuan di bawah umur ke sebuah penginapan tanpa terdeteksi oleh sistem pengawasan apa pun? Pertanyaan ini tak cukup dijawab dengan dalih “oknum”, sebab tindakan semacam ini tidak lahir di ruang hampa.
BACA JUGA:
Kepala SD asal Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Siswi di Pangandaran
Demikian derai opini Pergerakan Masyarakat Anti Korupsi (PEMANTIK), dikemukakan Irwan Supriadi kepada FOKUSJabar.id, Minggu (14/12/2025).
Menurut pria yang akrab disapa Iwok ini, kasus tersebut memunculkan dugaan adanya sistem yang longgar, permisif, dan minim kontrol.
Seorang pendidik yang seharusnya menjadi teladan justru diduga menjalani kehidupan ganda, mendidik di siang hari, namun menjadi ancaman bagi keselamatan anak di luar jam sekolah.
Jika benar demikian, maka yang gagal bukan hanya individu, melainkan struktur yang membesarkannya.
Selama ini, Pemda kerap tampil dengan berbagai agenda seremonial seperti deklarasi ramah anak, apel moral, hingga pidato tentang pendidikan berkarakter.
Namun ketika dugaan kejahatan justru dilakukan oleh orang dalam birokrasi pendidikan, seluruh jargon tersebut seakan kehilangan makna.
Publik pun mempertanyakan mekanisme promosi dan evaluasi jabatan kepala sekolah. Apakah integritas dan rekam jejak benar-benar menjadi pertimbangan utama, atau sekadar formalitas administratif, senioritas, dan kedekatan struktural?
Sorotan tajam juga mengarah ke Dinas Pendidikan. Sikap menunggu proses hukum yang kerap dikedepankan dinilai bukan bentuk kehati-hatian, melainkan pembiaran yang berulang. Hingga kasus ini mencuat ke ruang publik, terduga pelaku disebut masih aktif menjalankan tugasnya.
BACA JUGA:
Anggota DPRD Jabar Gelar Pendidikan Demokrasi untuk Pelajar di Tasikmalaya
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar, di mana sistem pengawasan internal? Di mana mekanisme deteksi dini terhadap perilaku menyimpang pejabat pendidikan? Dan di mana keberanian untuk mengambil langkah administratif cepat demi perlindungan anak?
Ironisnya, kasus ini terungkap bukan karena kepekaan sistem negara, melainkan karena keberanian korban dan kepedulian warga. Negara baru bergerak setelah publik marah. Bagi banyak pihak, ini bukan penegakan hukum preventif, melainkan pemadaman krisis setelah kerusakan terjadi.
Anak-anak yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru harus diselamatkan oleh spontanitas masyarakat. Sementara itu, pejabat publik dinilai lebih sibuk menunggu momentum konferensi pers ketimbang bertindak cepat.
Desakan pun menguat agar Pemda dan Dinas Pendidikan tidak berhenti pada pernyataan kecaman semata. Publik menuntut pencopotan sementara tanpa kompromi terhadap terduga pelaku, audit total terhadap pejabat pendidikan, terutama kepala sekolah serta sanksi administratif tegas bagi atasan yang lalai.
Transparansi penuh juga menjadi tuntutan utama. Upaya menutup-nutupi kasus demi “nama baik institusi” justru dinilai akan memperdalam krisis kepercayaan publik.
BACA JUGA: Jabatan “Basah” Ditinggal, Ada Apa di Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya?
Jika langkah-langkah tegas tersebut tidak segera diambil, maka pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan dinilai telah memilih untuk melindungi institusi, bukan anak-anak.
Dan ketika wajah birokrasi lebih penting daripada masa depan korban, publik berhak menyimpulkan bahwa yang rusak bukan hanya moral individu, melainkan nurani kekuasaan itu sendiri.
(F Kamil)


