GARUT, FOKUSJabar.id: Fenomena pernikahan di bawah umur masih menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Kabupaten Garut. Padahal, berbagai upaya sosialisasi telah dilakukan.
Hingga kini angka permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama tetap menjadi sorotan.
BACA JUGA:
Teras Cimanuk Disoal Pemkab Garut, Pengelola Minta Dokumen Kepemilikan Tanah
Isu tersebut memicu kekhawatiran karena berdampak langsung pada angka stunting, kemiskinan ekstrem hingga tingginya angka putus sekolah.
Terkait hal itu, Bupati Garut, Abdusy Syakur Amin menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan organisasi perempuan dalam menekan angka pernikahan dibawah umur serta kematian ibu dan bayi di Garut.
Menurut Syakur, tantangan yang dihadapi Kabupaten Garut yakni, rendahnya pendidikan perempuan, tingginya angka pernikahan dibawah umur serta masalah kesehatan ibu dan bayi.
Semua tantangan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) sendirian.
“Masyarakat kita banyak, masalah yang dihadapi Garut juga kompleks. Tidak mungkin hanya diselesaikan oleh Pemda saja. Itulah mengapa kolaborasi sangat krusial,” kata Bupati.
Faktor-faktor Tinginya Pernikahan Bawah Umur
Menurut Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Kabupaten Garut, Yayan Waryan, tingginya angka pernikahan bawah umur disebabkan oleh kombinasi faktor ekonomi, pendidikan, kondisi sosial-budaya serta kelemahan dalam edukasi/pencegahan.
BACA JUGA:
Disabilitas Bukan Hanya Jadi Objek Bantuan, Tapi Subjek Pembangunan Produktif
“Untuk mengatasi ini dibutuhkan pendekatan menyeluruh. Di antaranya, pendidikan, pemberdayaan ekonomi keluarga, kampanye kesadaran tentang dampak negatif pernikahan dini dan layanan konseling/persiapan menikah yang efektif,” ujar Yayan.

Menurut catatan DPPKBPPPA Garut, setidaknya ada 771 kasus dari total 21.370 pernikahan. 33,1 persen dari total pernikahan pada 2024 adalah pernikahan usia dini.
Yayan mengungkapkan, Program KB dengan Kampung KB-nya diyakini bisa sangat membantu. Terutama dalam hal mengubah pola pikir (kesadaran pentingnya KB), mengendalikan fertilitas dan mendukung kualitas hidup keluarga.
“Syaratnya jika dilaksanakan dengan komprehensif dan sesuai konteks desa,” kata Dia.
Dia menyebut, di Kabupaten Garut sendiri telah terbentuk Kampung KB di 442 Desa dan Kelurahan.
Untuk memaksimalkan efektivitas, program KB di desa perlu dipadukan dengan aspek pemberdayaan ekonomi, pendidikan, peningkatan akses layanan kesehatan dan sosialisasi ke generasi muda.
Sehingga KB bukan semata soal jumlah anak, tapi tentang kualitas keluarga yang diintervensi melalui kelompok Bina Ketahanan Keluarga.
“Perlu juga memperhatikan aspek partisipasi pria, keterlibatan tokoh lokal, adaptasi terhadap budaya lokal dan pemberdayaan masyarakat agar program tidak cuma top-down tapi “milik” masyarakat desa,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret, Pemkab Garut mengandalkan program Stop Kabur (Strategii Terpadu Optimalisasi Pencegahan Kawin Anak Bawah Umur).
Program tersebut dirancang untuk melakukan intervensi hingga ke tingkat Rukun Warga (RW).
Stop Kabur diklaim bukan sekadar slogan. Melainkan gerakan masif untuk mengedukasi masyarakat mengenai risiko sosial, ekonomi dan kesehatan akibat pernikahan di bawah umur.
BACA JUGA:
Tingginya Pernikahan di Bawah Umur, Jadi Sorotan Bupati Garut
Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Garut, Eti Nurul Hayati menyoroti risiko medis yang menjadi alasan mengapa program pencegahan harus berhasil.
“Dampaknya nyata, terjadi angka kematian ibu dan bayi (AKI/AKB). Jika ibu masih dalam masa tumbuh kembang, ia akan berbagi nutrisi dengan anaknya. Jika anaknya sehat, ibunya tidak tumbuh baik. Sebaliknya jika ibunya sehat, anaknya berisiko stunting,” jelas Eti.
Aisyiyah bergerak melalui komunitas BSA (Balai Sakinah Aisyiyah) di desa lokus stunting untuk membina korban pernikahan anak hingga perempuan dhuafa agar memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
(Y.A. Supianto)


