spot_img
Selasa 25 November 2025
spot_img

33 Ribu Konten Disensor pada 2025, LSF Sebut Banyak Anak Menonton Tanpa Pendampingan

BANDUNG,FOKUSJabar.id: Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia menyoroti minimnya pengawasan orang tua terhadap konsumsi tontonan digital oleh anak. Kemudahan akses melalui gawai pribadi dinilai membuat banyak anak menonton film tanpa filtrasi usia maupun pendampingan, sehingga menimbulkan kekhawatiran tersendiri.

Wakil Ketua LSF RI, Noorca M. Massardi, menegaskan bahwa literasi sensor mandiri menjadi kebutuhan mendesak di tengah derasnya perkembangan teknologi.

Baca Juga: Kabel PJU Masih Jadi Target Pencurian di Kota Bandung

“LSF dengan 17 anggota tidak mungkin memberikan literasi kepada 270 juta warga Indonesia secara serentak. Sekarang semua orang bisa menonton dari smartphone tanpa pengawasan,” ujar Noorca dalam kegiatan Literasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di CGV Paris Van Java, Kota Bandung, Selasa (25/11/2025).

Pengawasan Tontonan Anak Dinilai Mengkhawatirkan

Merujuk hasil penelitian LSF, lebih dari separuh anak Indonesia mengakses tontonan digital dari kamar pribadi tanpa kehadiran orang tua.

“Lebih dari 51 persen anak menonton lewat gawai tanpa diawasi. Mereka menonton sendiri dari kamar. Ini sangat berbahaya,” tegasnya.

LSF telah bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) untuk memastikan penonton di bioskop sesuai klasifikasi umur. Namun, Noorca menilai pengawasan tontonan di rumah tetap menjadi kewajiban utama keluarga.

Untuk memperkuat literasi publik, LSF terus menggelar berbagai kegiatan edukasi, mulai dari sosialisasi hingga nonton bareng (nobar) di sejumlah daerah sebagai upaya menumbuhkan budaya sensor mandiri dan meningkatkan apresiasi terhadap film nasional.

Proses Sensor dan Celah Regulasi di Era Digital

Noorca menjelaskan bahwa proses sensor diberlakukan ketat terhadap setiap materi film. Produser diberi kesempatan revisi maksimal tiga kali apabila ditemukan konten yang tidak sesuai.

“Biasanya satu kali revisi sudah cukup. Kalau sampai tiga kali masih bermasalah, tentu kami tidak dapat menerimanya,” jelasnya.

Di sisi lain, Ketua Subkomisi Publikasi LSF RI, Nusantara Husnul Khatim Mulkan, mengungkapkan bahwa regulasi penyensoran masih memiliki celah karena Undang-Undang Perfilman disusun sebelum maraknya platform streaming.

“Saat itu belum terbayangkan setiap orang memegang gawai dengan akses tontonan yang tidak terpantau,” ujarnya.

Ia menyebut revisi UU Perfilman telah masuk daftar Prolegnas sejak 2019 dan kini berada di urutan ke-27. Sementara itu, LSF terus mendorong layanan streaming untuk mengajukan konten mereka agar melalui proses sensor.

Sepanjang semester ketiga 2025, LSF telah menyensor sekitar 33 ribu materi, dengan 12 film tidak lolos—kebanyakan untuk kebutuhan festival karena mengandung konten pornografi tinggi. Adapun seluruh film bioskop, sejauh ini, masih dinyatakan lolos sensor.

Apresiasi dari Industri Film

Produser film sekaligus CEO UWAIS Pictures, Ryan Santoso, menyampaikan apresiasi terhadap upaya LSF dalam menjaga standar tontonan nasional.

“YouTube Kids hanya menjaga sebagian anak, tapi LSF menjaga seluruh anak Indonesia. Itu tugas besar, dan mereka menjalankannya dengan sangat baik,” ujar Ryan.

Ryan juga menuturkan bahwa selama bekerja sama dengan LSF dalam proses produksi, tidak ada hambatan berarti.

“Tidak ada unsur pornografi. Hanya adegan sadis yang masih dalam batas wajar untuk klasifikasi 17 tahun ke atas. Tidak ada tambahan revisi yang diminta,” ungkapnya.

(Yusuf Mugni)

spot_img

Berita Terbaru