spot_img
Jumat 21 November 2025
spot_img

Tak Ada Unsur Mens Rea, Kuasa Hukum Sebut Kasus Tunjangan DPRD Banjar Bentuk Kriminalisasi

BANJAR,FOKUSJabar.id: Momen haru mewarnai sidang kasus dugaan korupsi tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Kota Banjar periode 2017–2021. Hakim Pengadilan Tipikor Jawa Barat, Gatot Ardian Agustriono, terlihat menengadahkan tangan seraya berdoa usai mendengarkan replik dari jaksa terhadap terdakwa Ketua DPRD Kota Banjar, Dadang R Kalyubi, dan Sekretaris DPRD, Rachmawati, Jumat (21/11/2025).

“Mohon doa, semoga pada 26 November nanti kami bisa memberikan keputusan yang baik,” ujar Gatot.

Baca Juga: Angka Stunting Banjar Turun Drastis, Pemkot Targetkan 14 Persen pada 2025

Doa sang hakim mencerminkan pandangan sejumlah pihak yang menilai perkara tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai persoalan administrasi pemerintahan, bukan tindak pidana.

Asal Mula Kasus: Selisih Aturan & Temuan yang Dipersoalkan

Kasus ini bermula dari penyidikan Kejaksaan Negeri Banjar bersama Inspektorat, terkait perhitungan kerugian negara atas kebijakan pemberian tunjangan tahun 2017. Pemberian tunjangan saat itu mengacu pada Perwali Nomor 5a/2017 yang disahkan 26 Mei 2017. Namun beberapa hari kemudian, tepatnya 2 Juni 2017, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan ketentuan baru.

Usulan tunjangan sendiri diajukan DPRD pada 3 Mei 2017, dan disahkan wali kota pada 26 Mei 2017, selisih waktu yang kemudian dianggap sebagai dasar pemeriksaan. Proses penyidikan terhadap Dadang dan Rachmawati berlangsung cukup panjang, dari 14 Agustus 2024 hingga 3 Februari 2025.

Penasihat hukum Rachmawati, Namina Nina, menilai hal tersebut janggal karena pemeriksaan dilakukan tanpa adanya temuan resmi inspektorat sebagai auditor internal pemerintah daerah.

“Inspektorat justru melakukan pemeriksaan bersama kejaksaan,” jelas Nina.

Ia juga menyoroti bahwa laporan kinerja Pemerintah Kota Banjar tahun 2017–2021 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK, tanpa mencantumkan tunjangan DPRD sebagai temuan. Nina menyebut kondisi ini sebagai bentuk kriminalisasi.

Persidangan: Lebih Banyak Saksi Ahli daripada Bukti

Sejak mulai disidangkan pada 14 Juli 2025, perkara ini telah menghadirkan 32 saksi, terdiri dari 27 saksi dari jaksa dan 4 saksi ahli. Jaksa menilai Dadang dan Rachmawati melanggar Pasal 2 ayat (1) serta Pasal 3 Undang-Undang Tipikor.

Namun saksi ahli dari pihak terdakwa menilai tidak ada unsur mens rea (niat jahat).

Salah satu saksi ahli, Dr. Somawijaya, S.H., M.H, menegaskan bahwa tindakan Rachmawati tidak memenuhi unsur pidana.

“Jika tidak ada niat jahat atau kelalaian, maka perbuatan itu tidak dapat dianggap melawan hukum. Rachmawati melaksanakan peraturan positif yang sah. Pelaksanaan aturan yang sah tidak bisa dijadikan dasar pemidanaan,” jelasnya.

Tidak Ada yang Diperkaya, DPRD Justru Siap Kembalikan Kelebihan Tunjangan

Perhitungan jaksa dan inspektorat menyebut adanya potensi kerugian negara sebesar Rp3,52 miliar sepanjang 2017–2021. Dari jumlah itu, setiap anggota DPRD diduga menerima kelebihan sekitar Rp1,2 juta per bulan.

Mantan anggota DPRD, Mujamil, mengaku siap mengembalikan kelebihan tunjangan tersebut.

“Kalau ada kerugian negara yang masuk ke gaji saya, terutama tunjangan perumahan, saya siap mengembalikan,” katanya (24/4/2025).

Meski demikian, hingga kini tidak ada mekanisme resmi pengembalian dana. Nina menilai hal ini semakin memperlihatkan kejanggalan proses hukum.

Isu Kriminalisasi Mengemuka, Sejalan dengan Sorotan Presiden

Dalam pledoi, Nina menegaskan kliennya tidak melakukan tindak pidana karena tidak memiliki niat memperkaya diri. Ia menilai kasus ini selaras dengan peringatan Presiden Prabowo Subianto yang pada 20 November 2025 meminta penegak hukum tidak melakukan kriminalisasi terhadap perkara yang sebenarnya tidak ada.

“Saya ingatkan kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada,” tegas Presiden dalam sebuah acara bersama Kejaksaan Agung.

Ia juga menekankan agar aparat tidak mencari-cari kesalahan rakyat kecil yang kehidupan ekonominya sudah berat.

Nina menilai Rachmawati menjadi korban kriminalisasi karena pihak lain yang terlibat dalam penyusunan dan penandatanganan kebijakan tidak ikut diproses.

“Klien saya dijadikan tumbal. Anggota dewan lain yang menikmati tunjangan, serta wali kota yang menandatangani perwali, justru tidak tersentuh,” tutupnya.

(Agus)

spot_img

Berita Terbaru