spot_img
Kamis 20 November 2025
spot_img

Alarm Bahaya! Angka Putus Sekolah di Kabupaten Tasikmalaya Tembus 29 Ribu Anak, Disdikbud Pertegas Strategi Penanganan dan Dampak Sosial

TASIKMALAYA, FOKUSJabar: Persoalan anak putus sekolah kembali menjadi sorotan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, setelah data terbaru menunjukkan jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS), masih berada pada angka yang mengkhawatirkan.

Berdasarkan Dashboard ATS Pusdatin per 3 Oktober 2025, lebih dari 29 ribu anak di Kabupaten Tasikmalaya tercatat tidak sedang bersekolah, baik karena belum pernah mengikuti pendidikan formal, putus sekolah, maupun tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Data tersebut mencatat sebanyak 9.458 anak belum pernah bersekolah (BPB), 8.821 anak putus sekolah, dan 11.670 anak yang lulus SD namun tidak melanjutkan pendidikan. Kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah, mengingat tingginya angka ATS berpotensi memicu persoalan sosial yang lebih luas.

BACA JUGA: 

Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya Tegaskan Tak Ada Kebijakan Pemasangan Stiker Keluarga Miskin

Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya, Edi Ruswandi Hidayatuloh, S.Pd., MM, menegaskan, meningkatnya angka anak putus sekolah dapat berimbas pada naiknya angka kriminalitas dan memburuknya kualitas hidup masyarakat.

“Minimnya pendidikan karakter dan kurangnya bimbingan moral membuat anak yang tidak bersekolah lebih rentan terpengaruh lingkungan negatif,” kata Edi dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Penanganan Anak Tidak Sekolah (ATS) jenjang Sekolah Dasar yang digelar Disdikbud Kabupaten Tasikmalaya di Hotel Dewi Asri Singaparna, Kamis (20/11/2025).

Pada acara yang dihadiri para Kepala Sekolah Dasar se-Kabupaten Tasikmalaya itu, Edi mengemukakan banyak kasus anak berhenti sekolah bukan disebabkan kemauan pribadi, tetapi karena kurangnya perhatian, pendampingan, dan peran aktif orang tua.

Ia menekankan perlunya kerja bersama lintas pihak untuk memastikan setiap anak tetap berada dalam jalur pendidikan.

Edi menyebutkan, penanganan anak putus sekolah merupakan kewajiban negara. UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dan 2, UU Sistem Pendidikan Nasional, serta UU Perlindungan Anak sebagai dasar hukum yang menegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak dan wajib dilindungi dari segala bentuk hambatan pendidikan.

Berbagai faktor yang menyebabkan anak berhenti sekolah. Antara lain ketidakstabilan ekonomi keluarga menjadi pemicu paling dominan.

“Banyak anak didorong untuk bekerja agar dapat membantu keluarga sehingga meninggalkan bangku sekolah,” ucap Edi.

Selain itu sambung Edi, rendahnya minat belajar, pernikahan dini, serta pengaruh pergaulan yang tidak mendukung proses pendidikan juga menjadi penyebab signifikan.

“Sebagian anak terdata sebagai putus sekolah karena berpindah ke pesantren nonformal yang belum tercatat dalam sistem EMIS atau Dapodik,” ujar Edi.

Lebih jauh Edi menjelaskan, pemerintah desa (Pemdes) memegang peran strategis dalam pencegahan putus sekolah sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2024.

Pemdes terang Edi, memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi anak yang berpotensi berhenti sekolah, memberikan pendampingan dan intervensi sejak dini, meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pendidikan, serta memastikan bantuan pendidikan dari pemerintah tersalurkan tepat sasaran.

“Pemdes didorong membangun kemitraan dengan berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keberlanjutan pendidikan anak,” terang Edi.

Selain upaya daerah, Edi juga menyampaikan arah kebijakan nasional melalui tujuh program strategis Kemendikdasmen.

Program tersebut meliputi pemerataan distribusi guru ASN ke sekolah swasta, pembaruan manajemen kinerja guru dan kepala sekolah, transformasi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), penguatan karakter melalui program “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”.

Kemudian pembelajaran mendalam atau deep learning, pengenalan materi coding dan kecerdasan buatan, serta penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai sistem evaluasi baru.

Edi menekankan perlunya kolaborasi menyeluruh antara pemerintah daerah, sekolah, desa, orang tua, dan masyarakat luas.

BACA JUGA: Pemkot Bandung Siap Berantas Judol, Farhan:  ASN Disanksi Berat

“Kami menegaskan bahwa anak putus sekolah bukan sekadar data statistik, tetapi mencerminkan masa depan daerah yang tidak boleh diabaikan,” katanya

“Anak putus sekolah bukan hanya angka, tetapi masa depan. Kita harus bekerja bersama agar tidak ada satu pun anak yang tertinggal,” sambung Edi.

(Farhan)

spot_img

Berita Terbaru