TASIKMALAYA,FOKUSJabar.id: Indonesia bersiap menyambut tonggak sejarah penting dalam dunia hukum pidana. Mulai 2 Januari 2026, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional hasil karya bangsa sendiri akan resmi diberlakukan.
Momen ini menandai berakhirnya era panjang penggunaan KUHP warisan kolonial Belanda yang telah berlaku selama lebih dari satu abad.
Transformasi besar ini bukan sekadar perubahan teks hukum, tetapi juga pergeseran filosofi: hukum pidana Indonesia kini tegas terhadap perbuatan, namun tetap humanis dalam pemulihan.
BACA JUGA:
Menjelang Pemberlakuan KUHP Nasional, APH Kabupaten Tasikmalaya Dituntut Selaraskan Pemahaman
Pandangan tersebut disampaikan oleh akademisi sekaligus praktisi hukum Tasikmalaya, Demi Hamzah Rahadian, SH, MH, yang menilai berlakunya KUHP Nasional merupakan bukti kemandirian hukum bangsa.
“Akhirnya kita memiliki KUHP Nasional sendiri. Ini akhir dari bayang-bayang imperialisme hukum kolonial. Tahun 2026 nanti kita menegaskan jati diri bangsa, bahwa sistem hukum kita punya visi yang tegas terhadap perbuatan dan manusiawi dalam pemulihan,” ujar Demi, Jumat (7/11/2025).
Pergeseran Paradigma Hukum: Dari Retributif ke Restoratif
Menurut Demi, perbedaan paling mendasar antara KUHP lama dan yang baru terletak pada orientasi dan semangatnya. KUHP baru tidak lagi menitikberatkan pada pembalasan (retributif), tetapi lebih pada pencegahan, pembinaan, dan pemulihan hubungan sosial.
“Tujuan pemidanaan kini dijabarkan secara eksplisit, dengan pedoman yang lebih jelas bagi hakim. Bahkan ada ruang bagi ‘pemaafan hakim’ dalam perkara ringan demi menegakkan keadilan substantif,” jelas Demi.
Selain pidana penjara dan denda, KUHP baru juga memperkenalkan bentuk hukuman alternatif seperti pidana kerja sosial dan pengawasan, yang dinilai lebih proporsional bagi pelanggaran dengan ancaman rendah.
Namun, Demi menegaskan secara prosedural, penerapannya masih bergantung pada KUHAP tahun 1981, sampai RUU KUHAP disahkan sebagai penyelarasan.
“Secara materiil, KUHP sudah berkarakter Indonesia, tetapi secara formil masih harus disesuaikan agar semangat barunya tidak tersandera mekanisme lama,” kata Demi Hamzah.
Hukum yang Berwatak Kemanusiaan
Demi menilai, KUHP baru menghadirkan wajah hukum yang lebih beradab dan memuliakan martabat manusia. Empat tujuan pemidanaan yaitu mencegah kejahatan, membina pelaku, menyelesaikan konflik, dan memulihkan keseimbangan sosial, menjadi fondasi bagi hukum pidana yang lebih bermakna.
“Pemidanaan bukan lagi sarana untuk merendahkan martabat seseorang. Pasal 54 ayat (2) memberi ruang bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana apabila keadilan dan kemanusiaan lebih diutamakan,” ungkapnya.
Demi menyebut paradigma baru ini menjadikan hukum pidana bukan mesin penghukum, tetapi instrumen korektif dan pembelajaran sosial.
Restorative Justice dan Pidana Sosial
Lebih lanjut Demi menegaskan, restorative justice kini benar-benar menjadi roh sistem hukum pidana baru. Prinsip ini diimplementasikan melalui pidana kerja sosial (Pasal 85) dan pidana pengawasan (Pasal 75–77) yang dirancang untuk menghindari hukuman penjara jangka pendek dan menekan angka residivisme.
“Pidana sosial menjadi solusi yang lebih konstruktif. Namun keberhasilannya tergantung pada koordinasi antara Kejaksaan, Balai Pemasyarakatan, dan Pemerintah Daerah,” paparnya.
Ia menambahkan, perlu segera dibuat SOP asesmen perkara, mekanisme persetujuan korban, serta daftar lokasi kerja sosial yang aman dan bermakna, agar pelaksanaan di lapangan tidak gamang.
“Peraturan pelaksana harus segera hadir supaya prinsip keadilan restoratif ini benar-benar terwujud,” tegas Demi.
Aparat Hukum Harus Berubah Wajah
Demi juga menekankan perlunya transformasi karakter aparat penegak hukum (APH) agar sejalan dengan semangat KUHP baru.
“Aparat hukum tidak boleh lagi tampil seperti algojo yang menakutkan. Mereka harus humanis, normatif, solutif, dan adaptif,” ujar Demi.
Ia menambahkan, APH kini juga memiliki fungsi baru sebagai mediator penyelesaian pidana secara bermartabat, bukan sekadar penegak aturan yang kaku.
“Sinergi antar lembaga mutlak diperlukan. Tidak boleh ada ego sektoral. Semua harus kolaboratif dengan advokat, akademisi, dan masyarakat, serta mempertimbangkan nilai-nilai lokal dalam penerapan hukum,” katanya.
Supremasi Sipil dan Isu Koneksitas
Terkait peradilan koneksitas antara sipil dan militer, Demi menekankan pentingnya mekanisme yang objektif dan transparan dalam menentukan forum peradilan.
“KUHAP 1981 sudah mengatur dalam Pasal 89–94, tapi ke depan RUU KUHAP harus memperjelas standar koordinasi penyidikan dan penuntutan agar tidak ada tarik-menarik kewenangan,” ujarnya.
Sebagai negara demokratis, lanjut Demi, Indonesia harus menegaskan supremasi sipil dalam sistem hukum.
“Dalam negara republik, kekuasaan berada di tangan masyarakat sipil. Pengadilan militer seharusnya hanya digunakan dalam kondisi darurat militer atau wilayah operasi militer. Jika melibatkan sipil, maka berlaku pengadilan koneksitas,” jelas Demi.
Menutup pandangannya, Demi menegaskan langkah berikutnya yang tak kalah penting adalah percepatan pembahasan Rancangan KUHAP (RKUHAP) sebagai perangkat pelaksana dari KUHP baru.
“KUHP sudah lahir, maka KUHAP harus segera menyusul, tapi jangan asal cepat. Prosedurnya harus berkualitas dan menjamin keadilan,” tutur Demi yang juga mantan Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Tasikmalaya.
BACA JUGA: Di Banjar, 150 Tabung LPG 3 Kg Disikat Maling
Ia menilai, aspek krusial seperti perlindungan hak tersangka dan saksi, prosedur keadilan restoratif, serta sinkronisasi sanksi alternatif harus diperkuat melalui standar hukum yang jelas.
“Hukum pidana modern bukan sekadar menghadirkan pasal baru, tapi menciptakan tata kelola penegakan hukum yang mengayomi, efektif, dan berkarakter Indonesia,” pungkas Demi Hamzah Rahadian.
(Farhan)


