spot_img
Kamis 30 Oktober 2025
spot_img

“Koboi” di Kementrian Keuangan: Gaya Komunikasi yang Menguji Birokrasi

Oleh: Muhammad Farid
(Dosen Ilmu Komunikasi Stikom Bandung)

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjadi bahan perbincangan di ruang publik. Tak lama setelah menggantikan Sri Mulyani, namanya begitu mencuat. Bukan karena kebijakan fiskal yang baru atau terobosan ekonomi yang signifikan, melainkan karena gaya komunikasinya yang blak-blakan dan tanpa tedeng aling-aling.

Di mata banyak pihak, Purbaya tampil seperti seorang “koboi” — berbicara apa adanya, tanpa basa-basi, dan sering kali tanpa memperhitungkan konsekuensi politik dari ucapannya.

BACA JUGA: Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa Jawab Tantangan Gubernur Jabar

Keterbukaan dan keberanian berbicara memang disukai publik. Namun, dalam konteks pemerintahan, setiap pernyataan seorang menteri bukan sekadar pendapat pribadi, melainkan representasi lembaga yang diembannya. Di sinilah letak persoalannya: gaya komunikasi Purbaya mulai menimbulkan gesekan politik.

Seperti halnya dengan legislatif, khususnya Komisi XI, yang menilai bahwa cara Purbaya berkomunikasi berpotensi mengganggu koordinasi antar-kementerian. Bahkan sejumlah pengamat juga menilai, alih-alih ingin tampil jujur di ruang publik, justru Purbaya kerap menabrak etika komunikasi birokratik yang menuntut kehati-hatian dan keselarasan.

Beberapa pernyataannya yang menuai reaksi keras adalah menolak penggunaan APBN untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) yang langsung ditanggapi oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan.

Seolah tak pernah usai keduanya saling berbalas pertanyaan di media yang melahirkan pro-kontra di ruang publik. Selanjutnya adalah pemangkasan dana transfer daerah yang diwarnai dengan pernyataan bahwa pemerintah daerah lebih memilih menumpuk dana di bank dan tidak membelanjakannya.

Tentu hal tersebut memicu reaksi dari para kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) sehingga melahirkan kontroversi-kontroversi baru di ruang publik.

Bagi sebagian kalangan, pernyataan-pernyataan Purbaya menunjukkan lemahnya etika berkomunikasi dengan lembaga negara lainnya. Namun, tidak sedikit masyarakat yang mendukungnya, karena dari pernyataan-pernyataan Purbaya tersebut justru mencerminkan kejujuran yang apa adanya. Kontras dua tafsir ini menggambarkan adanya dilema klasik komunikasi politik, yaitu keseimbangan antara authenticity (keaslian) dan diplomacy (diplomasi).

Dalam komunikasi politik, pejabat publik tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga membangun trust (kepercayaan) dan legitimacy (penerimaan publik). Komunikasi politik yang efektif harus mampu menjembatani kebijakan teknokratik dengan realitas sosial masyarakat, sekaligus menjaga harmoni antar-lembaga negara.

Ketika gaya personal pejabat terlalu dominan, terutama yang flamboyan seperti “koboi” fungsi komunikasi publik dapat bergeser dari upaya membangun konsensus menjadi sekadar ekspresi individual.

Jika dianalisis secara akademik, gaya komunikasi Purbaya memperlihatkan pola personal branding populis. Ia yang memang bukan dari unsur partai manapun, tampak berusaha memosisikan diri sebagai figur yang “anti-protokoler” dan berani melawan kemapanan birokrasi.

Strategi semacam ini acap kali efektif untuk menarik simpati publik dalam jangka pendek, sebagaimana terlihat dari tingginya eksposur media dan dukungan publik. Akan tetapi bila pola seperti ini dimainkan untuk jangka panjang, pendekatan ini menyimpan risiko: potensi disharmoni antar-lembaga, resistensi birokratik, dan melemahnya koordinasi internal pemerintahan.

Komunikasi politik merupakan cara dalam menyampaikan pesan yang akan menentukan bagaimana tafsiran publik terhadap kebijakan (Entman, 1993). Dalam kasus Purbaya, setiap pernyataannya kerap menyinggung pihak lain.

Hal tersebut justru akan semakin membentuk citra baru dirinya sebagai menteri keras kepala, sulit diatur, dan lebih banyak memicu reaksi daripada dukungan substansial. Padahal, peran utama Menteri Keuangan bukan menciptakan sensasi publik, tetapi menjaga stabilitas keuangan negara dan kredibilitas kebijakan fiskal.

Komunikasi politik pejabat negara itu bersifat multistakeholder ditujukan kepada publik, parlemen, pelaku ekonomi, lembaga internasional, dan rekan kabinet. Maka bahasa yang efektif untuk satu audiens belum tentu tepat untuk audiens lainnya.

Misalnya, gaya bicara ceplas-ceplos kepada kementerian lain mungkin terlihat tegas di mata publik, namun dapat dianggap melanggar etika koordinasi di level pemerintahan.

Dalam praktik komunikasi pemerintahan, diam yang strategis sering kali lebih bermakna daripada kejujuran yang ekspresif. Purbaya tampaknya ingin menunjukkan ketulusan dan otoritas melalui keterusterangan, namun kerap kehilangan fokus pada pesan utama, yaitu arah tujuan kebijakan ekonomi yang harusnya disampaikan.

Akibatnya, perhatian dan sentiment publik lebih tertuju pada gaya, bukan substansi. Ketika bentuk mengalahkan isi, maka pesan substantif pun kehilangan bobot politiknya.

Solusi Akademik dan Implikasi Praktis

Kritik terhadap gaya komunikasi Purbaya seharusnya tidak dimaknai sebagai upaya membungkam keberanian berbicara, melainkan dorongan untuk memperkuat strategic communication di lingkup birokrasi.

Menteri Keuangan idealnya membangun tiga jalur komunikasi: vertikal ke presiden dan kabinet, horizontal ke lembaga lain, serta lateral ke publik dan media. Setiap jalur menuntut strategi yang berbeda.

Pertama, secara kelembagaan, Kementerian Keuangan perlu memiliki Public Communication Unit yang menerapkan prinsip evidence-based messaging. Setiap pernyataan publik sebaiknya melalui proses telaah naratif agar selaras dengan kebijakan fiskal dan mencegah salah tafsir. Ini bukan bentuk sensor, melainkan disiplin komunikasi institusional yang lazim di negara demokrasi maju.

Kedua, Purbaya perlu menyeimbangkan antara spontanitas dan refleksi. Ia dapat tetap apa adanya, tetapi setiap pernyataan publik sebaiknya melalui proses empatik: apakah ucapan tersebut membangun atau memecah? Apakah menenangkan atau memicu konflik?

Sejalan dengan Habermas (1981), komunikasi politik seharusnya berorientasi pada saling pengertian, bukan sekadar afirmasi diri.


Ketiga, dibutuhkan forum koordinasi komunikasi antar-kementerian agar seluruh pejabat berbicara dengan satu narasi ekonomi yang konsisten. Koherensi ini penting untuk mencegah dissonance of government — situasi di mana pejabat menyampaikan pesan berbeda sehingga publik kehilangan kepercayaan terhadap arah kebijakan negara.

Keempat, Purbaya dapat mengubah energinya menjadi narrative leadership: kepemimpinan yang dibangun melalui narasi bersama. Dengan fokus pada penjelasan kebijakan fiskal yang konstruktif, ia tetap bisa tampil otentik tanpa menimbulkan kegaduhan politik.

Dari sisi implikasi, pembenahan komunikasi politik bukan semata soal citra pribadi, melainkan juga menyangkut stabilitas ekonomi nasional. Dalam konteks global yang sensitif, satu pernyataan menteri keuangan dapat mempengaruhi kepercayaan pasar, nilai tukar, dan persepsi investor. Karena itu, komunikasi publik di bidang ekonomi adalah bagian dari strategi stabilitas nasional.

Kejujuran dan Kebijaksanaan

Fenomena Purbaya adalah gambaran ketegangan klasik antara kejujuran personal dengan disiplin kelembagaan. Di satu sisi, publik mendambakan pejabat yang terbuka dan berani berbicara apa adanya, tetapi kejujuran tanpa kebijaksanaan dapat menjadi bumerang. Gaya seperti Purbaya mungkin menarik di awal, namun tanpa keseimbangan makna dan ketenangan, ia dapat melukai sistem birokrasi sendiri.

Pelajaran moral yang dapat dipetik adalah bahwa kekuatan komunikasi pemerintahan tidak diukur dari kerasnya suara, tetapi dari kedalaman pemahaman terhadap dampak setiap kata. Purbaya memiliki potensi menjadi pembaharu di bidang fiskal, tetapi untuk mencapainya, ia perlu menaklukkan ego komunikatifnya sendiri.

Kita membutuhkan pejabat publik yang bukan hanya jujur, tetapi juga bijak, namun tahu kapan harus diam dan kapan harus berbicara dengan berani, serta harus memahami makna setiap ucapannya. Sebab dalam politik modern, kata bukan sekadar alat komunikasi—tetapi kebijakan itu sendiri, dan komunikasi adalah bentuk kekuasaan yang paling nyata. Wallahu alam Bishawab

spot_img

Berita Terbaru