BANDUNG,FOKUSJabar.id: Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyoroti tingginya angka kasus HIV/AIDS di Kota Bandung yang kini dinilai sudah memasuki fase darurat kesehatan masyarakat.
Menurut Farhan, data resmi mencatat sekitar 9.900 kasus HIV/AIDS, namun angka riilnya diperkirakan bisa mencapai tujuh kali lipat lebih besar, atau sekitar 70 ribu pengidap.
Baca Juga: “Dari Sahabat” Puisi Hasil Kolaborasi Pelajar Indonesia dan Malaysia
“Dari 9.900 kasus yang terdata, kita menggunakan prinsip gunung es, satu kasus yang terlapor bisa mewakili tujuh yang tidak terdeteksi. Artinya jumlah sebenarnya bisa mencapai sekitar 70 ribu orang,” ujar Farhan, Rabu (29/10/2025).
Melihat kondisi tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung akan meluncurkan strategi penanganan komprehensif, mulai dari edukasi, pencegahan, pengobatan, hingga pendampingan sosial bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Farhan menegaskan, seluruh perangkat pemerintahan hingga tingkat kelurahan akan terlibat dalam upaya memperluas jangkauan edukasi dan deteksi dini.
“Kita akan menggerakkan semua perangkat yang ada agar edukasi dan deteksi dini menjangkau seluruh lapisan masyarakat,” katanya.
Ia menjelaskan, peningkatan kasus HIV/AIDS di Bandung banyak terpicu oleh perilaku berisiko. Seperti penggunaan jarum suntik secara bergantian, seks bebas tanpa pengaman, serta pergantian pasangan secara tidak bertanggung jawab.
Kesadaran Masyarakat untuk Tes HIV Rendah
Farhan mengakui, kesadaran masyarakat untuk melakukan tes HIV dan menerapkan perilaku aman masih rendah. Sehingga perlu penguatan melalui kampanye dan edukasi berkelanjutan.
Selain itu, Pemkot Bandung juga memperketat pengawasan di titik-titik rawan penularan, seperti apartemen, rumah kos, dan tempat hiburan malam.
“Tim Yustisi dan Satpol PP rutin melakukan razia setiap minggu,” ujarnya.
Pemerintah juga berkomitmen untuk memberantas prostitusi daring, penyalahgunaan narkoba, dan peredaran obat keras ilegal yang turut berkontribusi terhadap penyebaran HIV di kalangan muda.
Farhan menegaskan, penanganan HIV/AIDS tidak bisa hanya menjadi beban sektor kesehatan. Masalah ini juga merupakan persoalan sosial dan kemanusiaan yang menuntut kolaborasi lintas sektor.
“Semua pihak harus bergerak bersama. Kita juga harus menghapus stigma terhadap ODHA. Mereka bukan untuk kita jauhi, tapi kita rangkul agar bisa tetap produktif,” pungkasnya.
(Yusuf Mugni)


