spot_img
Minggu 19 Oktober 2025
spot_img

Audrey King of the Jungle Ajak Pemerintah Tiru Aksi Hartono Soekwanto: Permudah Ekspor, Tingkatkan Kualitas

BANDUNG,FKUSjabar.id: Influencer sekaligus aktivis ikan hias ternama, Nehemia Audrian atau yang akrab disapa Audrey King of the Jungle, menyoroti hambatan birokrasi yang masih dihadapi para petani ikan koi dalam menembus pasar ekspor.

Menurut Audrey, lambannya proses perizinan menjadi batu sandungan bagi pelaku usaha kecil menengah (UMKM) di sektor perikanan hias yang kini tengah berkembang pesat.

“Indonesia ini sebenarnya penghasil ikan hias terbesar di dunia. Tapi, pusat perdagangannya masih banyak di Singapura. Ini yang harus kita ubah,” ujarnya saat berkunjung ke kediaman pengusaha sekaligus pegiat komunitas koi, Hartono Soekwanto alias Bos Koi, Jumat (17/10/2025).

Baca Juga: Bayar Pakai Sampah, Great Bandung 2025 Ajak Warga Belanja Sekaligus Selamatkan Lingkungan

Birokrasi Lambat, Harga Ikan Bisa Anjlok

Audrey menuturkan, khusus untuk komoditas ikan koi yang menjadi kebanggaan Indonesia, proses ekspor masih terhambat karena panjangnya birokrasi. Padahal, ikan koi memiliki karakteristik pasar yang membutuhkan perputaran cepat.

“Ikan koi itu sensitif. Kalau ukurannya berubah sedikit saja, harga bisa ikut berubah. Belum lagi risiko penyakit kalau terlalu lama ditahan,” jelasnya.

Ia menilai, lambatnya penanganan administratif dari pihak terkait bisa menurunkan nilai jual ikan koi di pasar global. Untuk itu, ia mendorong pemerintah mempercepat proses perizinan dan memberikan kemudahan bagi para petani.

“Harapan saya, birokrasinya bisa lebih cepat. Mohon dukungan dari kementerian terkait, bahkan kalau bisa Bapak Presiden dan Wakil Presiden ikut mendorong, supaya koi Indonesia bisa jadi eksportir nomor satu di dunia,” tegas Audrey.

Bos Koi: “Ekspor Susah, Suratnya Banyak Banget”

Senada dengan Audrey, Bos Koi Hartono Soekwanto mengungkapkan keluhannya terkait rumitnya proses ekspor. Ia menilai, meskipun potensi ekonomi ikan koi sangat besar, birokrasi yang berbelit masih menjadi penghambat utama.

“Ngomong jujur ya, kirim ikan koi buat ekspor itu susah. Surat-suratnya banyak banget, padahal butuh cepat,” keluh Hartono.

Ia juga menyoroti kurangnya sosialisasi dari pemerintah kepada petani mengenai kelengkapan dokumen ekspor.

“Petani itu fokusnya breeding dan lelang. Kadang nggak ngerti dokumen apa aja yang harus disiapin,” ujarnya.

Hartono berharap ada sinergi lebih baik antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk penyesuaian jam kerja agar bisa sejalan dengan ritme peternak koi yang kerap bekerja hingga malam hari.

“Kuncinya kolaborasi. Pemerintah dan petani harus saling mengerti. Kalau itu terwujud, industri ikan hias bisa benar-benar terangkat,” tegasnya.

Kualitas Koi Lokal Tak Kalah dari Jepang

Dalam kesempatan yang sama, Audrey mengapresiasi kualitas koi lokal yang kini sudah mampu bersaing di tingkat internasional.

“Koi lokal kita bahkan sudah mengalahkan kualitas koi impor dari Jepang,” katanya bangga.

Ia mencontohkan prestasi ikan koi milik Bos Koi asal Bandung yang sukses menjadi Grand Champion, mengalahkan koi impor dengan harga fantastis mencapai Rp120 juta per ekor.

Aksi Filantropis Bos Koi: Hibah Bibit Rp5 Miliar untuk Petani

Tak hanya fokus pada bisnis, Bos Koi juga dikenal karena kepeduliannya terhadap kesejahteraan petani. Ia tercatat telah memberikan bibit ikan koi senilai Rp5 miliar kepada para petani di berbagai daerah.

“Itu tindakan luar biasa. Nilainya besar, tapi tujuannya sangat mulia,” puji Audrey.

Menurutnya, bibit berkualitas menjadi kunci peningkatan mutu ikan yang dihasilkan petani lokal.

“Bibit bagus bisa meningkatkan kualitas produksi. Dari situ, level ikan kita naik ke standar internasional,” jelas Audrey.

Ia berharap semakin banyak tokoh dan pengusaha yang mengikuti langkah filantropis Bos Koi agar industri perikanan hias Indonesia terus maju.

“Semoga makin banyak orang seperti Pak Hartono di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

(Irfansyahriza/AnthikaAsmara)

spot_img

Berita Terbaru