BANDUNG,FOKUSJabar.id: Sekretaris Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengungkapkan bahwa PT Agrinas Palma Nusantara (Agrinas) hingga saat ini belum memiliki legal standing yang utuh sebagai pengelola lahan sawit sitaan negara.
Padahal, perusahaan ini dibentuk dengan mandat mulia, yakni mengelola lahan eks Torganda di Sumatera Utara dan eks Duta Palma di Riau.
Menurut Iskandar, Agrinas belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU), belum mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB), dan masih menunggu Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.
“Artinya, secara hukum agraria dan kehutanan, belum menjadi subjek hak atas tanah, melainkan hanya pengelola administratif sementara. Dalam kerangka UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, posisi semacam ini rentan disebut ‘penggunaan kawasan tanpa dasar hukum tetap,” kata Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/10/2025).
Iskandar menyebut Direktur Utama Agrinas, Jenderal (Purn) Agus Sutomo, bahkan telah mengakui kelemahan tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI pada September 2025.
Dalam kesempatan itu, Dirut Agrinas meminta dukungan regulasi, termasuk melalui Instruksi Presiden (Inpres), untuk mempercepat proses pelepasan kawasan hutan.
“Permintaan itu sejatinya adalah pengakuan terbuka bahwa status hukum Agrinas masih rapuh, bahkan untuk ukuran BUMN,”katanya.
Kondisi di lapangan memperlihatkan indikasi pelanggaran serius, terbukti dari dua gugatan yang tengah dihadapi Agrinas di pengadilan.
Gugatan pertama datang dari masyarakat adat tujuh desa di Kecamatan Simangambat, Sumatera Utara, yang mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri Padangsidimpuan karena Agrinas dianggap tidak menjalankan kewajiban pembangunan kebun plasma sebesar 20 persen.
Dalam perkara ini, masyarakat menggugat berdasarkan aturan yang mewajibkan pola kemitraan plasma, namun tim hukum Agrinas dinilai gagal membuktikan bahwa perusahaan telah mematuhi ketentuan tersebut. Iskandar menyebut, dalam persidangan, hakim akan menyoroti absennya dokumen rencana pembangunan kebun masyarakat yang seharusnya disediakan berdasarkan Permentan No. 98 Tahun 2013 Pasal 11.
“Kelemahan utama, tim hukum dan teknis Agrinas tidak memahami substansi kewajiban plasma. Tentu dalam sidang mereka tidak akan mampu membawa bukti izin usaha, dan gagal menjelaskan status hukum penguasaan lahan,” ungkapnya.
Gugatan kedua muncul di wilayah Riau, di mana masyarakat menggugat Agrinas atas dugaan pengelolaan lahan eks Duta Palma tanpa izin yang jelas dan tanpa pelaksanaan plasma. Kasus ini, menurut Iskandar, menunjukkan bahwa Agrinas justru mengulangi pola lama korporasi sawit swasta, padahal membawa nama negara.
“Kelemahan utama, meski membawa nama BUMN, Agrinas tidak memiliki laporan transparansi pengelolaan lahan eks Duta Palma, tidak ada publikasi rencana kemitraan, dan tidak ada pelibatan masyarakat lokal secara resmi,” ujar Iskandar.
Baca Juga:IAW: Pemerintahan Prabowo Tunjukkan Keberpihakan terhadap Petani Plasma Sawit
Ia menilai dua perkara tersebut menunjukkan ketidaksiapan teknis dan manajerial perusahaan, termasuk lemahnya kompetensi hukum tim lapangan.
Masalah internal ini juga diakui langsung Dirut Agrinas dalam forum DPR, ketika menyebut adanya keterbatasan pemahaman tim terhadap hukum kehutanan dan perkebunan. Iskandar menilai pernyataan itu merupakan bukti nyata dari persoalan struktural yang lebih dalam di tubuh manajemen Agrinas.
Temuan IAW yang mengkaji Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI selama dua dekade terakhir turut memperkuat dugaan bahwa Agrinas berpotensi mengulang pola pelanggaran yang selama ini kerap terjadi di industri sawit nasional. Iskandar menyebut bahwa pelanggaran terhadap kewajiban plasma bukan hal baru, namun seharusnya bisa dihindari jika Agrinas memahami dan menerapkan aturan dengan benar.
Dalam data yang dihimpun, temuan BPK antara tahun 2004 hingga 2024 menunjukkan rata-rata keterlambatan realisasi plasma selama 7,8 hingga 10 tahun. Hanya 12 persen perusahaan yang diawasi secara konsisten, dan sekitar Rp 2,3 triliun dana kemitraan disalahgunakan. Selain itu, 45 persen lahan plasma belum memiliki sertifikat, pembinaan teknis tidak berkelanjutan mencapai 78 persen, dan kapasitas pengawasan daerah hanya 34 persen.
“Perusahaan-perusahaan besar seperti Sinar Mas, Wilmar, Torganda, Musim Mas, Astra Agro, dan Surya Dumai sudah tercatat dalam LHP BPK sebagai pelanggar sistemik plasma. Ironisnya, Agrinas kini menunjukkan gejala serupa, padahal membawa mandat negara!” ucapnya.
Lebih lanjut Iskandar mengatakan, bahwa dalam terminologi hukum publik, pelanggaran yang dilakukan Agrinas tergolong mal-administration by state proxy, yakni pelanggaran hukum oleh lembaga negara yang seharusnya menjadi penegak aturan.
Permintaan Inpres oleh Agrinas, menurutnya, menjadi bukti ketidakmampuan dalam menempuh mekanisme hukum formal sebagaimana diatur dalam PP No. 104 Tahun 2015.
“Inpres, secara hukum administrasi, bukan sumber hak, hanya perintah koordinatif. Artinya, sekalipun Inpres keluar, tanpa SK pelepasan kawasan hutan dan izin HGU, status hukum Agrinas tetap sementara,” tegasnya.
Ia menilai posisi hukum Agrinas sangat lemah, dan dua gugatan yang dihadapi semakin menegaskan kerentanan itu.
Lebih jauh, Iskandar mengungkapkan bahwa Agrinas kini menghadapi tiga jenis risiko hukum. Pertama, dari sisi administratif, ada potensi pencabutan mandat pengelolaan atau pembekuan operasional oleh pemerintah. Kedua, dari sisi perdata, gugatan ganti rugi dari masyarakat adat akan semakin marak. Ketiga, dari sisi pidana, terdapat potensi pelanggaran terhadap UU Kehutanan dan UU Perkebunan.
Audit internal yang dilakukan IAW terhadap Agrinas menemukan berbagai kelemahan struktural dalam pengelolaan hukum dan manajemen. Tim hukum tidak memiliki pemetaan regulasi kehutanan dan perkebunan secara utuh, tidak ada unit khusus untuk compliance dan due diligence, serta personil lapangan belum memahami batas waktu tiga tahun kewajiban plasma sebagaimana diatur dalam Permentan No. 98 Tahun 2013 Pasal 40.
Baca Juga: IAW Soroti Dugaan Standar Ganda Dalam Pelaksanaan Kebijakan Penataan Kawasan Hutan
Selain itu, laporan keuangan dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dinilai belum transparan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Akibatnya, dalam proses hukum di pengadilan, Agrinas kerap tampil tidak siap, tidak memahami konteks hukum acara, dan tidak mampu mengelola bukti administratif.
“PT Agrinas Palma Nusantara berdiri atas mandat negara, tapi hingga kini masih berjalan di atas tanah yang belum dilepaskan, dengan izin yang belum selesai, dan tim hukum yang belum matang,” ujarnya. Dalam konteks ini, Iskandar menilai bahwa Agrinas bukan satu-satunya pihak yang keliru, melainkan juga merupakan cerminan dari lambatnya penyesuaian tata kelola negara terhadap regulasi yang dikeluarkannya sendiri.
“Sementara perusahaan swasta belajar mengakali hukum, Agrinas justru tersandung karena tidak memahami hukum. Jika BUMN saja gagal menegakkan aturan plasma, bagaimana mungkin negara menuntut kepatuhan dari korporasi swasta?” ujarnya.
Untuk memperbaiki kondisi ini, IAW memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, diperlukan audit khusus oleh BPK terhadap pengelolaan Agrinas, terutama terkait pemenuhan kewajiban plasma dan status kawasan hutan eks Torganda dan Duta Palma. Kedua, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi lintas kementerian agar kejelasan hukum atas aset segera tercapai.
Selain itu, Agrinas juga didesak untuk mempublikasikan laporan realisasi plasma dan rencana pengelolaan tahunan secara terbuka kepada publik. IAW juga merekomendasikan pembentukan unit hukum dan kepatuhan internal guna memperkuat kapasitas sumber daya manusia. Terakhir, perlu dilakukan evaluasi terhadap jajaran manajemen, termasuk penggantian pejabat yang tidak memahami tata hukum perkebunan dan kehutanan.
“Negara sedang belajar menjadi tertib melalui tangan anaknya sendiri. Tapi bila tangan itu lemah, hukum akan jatuh di pangkuan rakyat. Dua gugatan terhadap PT Agrinas adalah peringatan keras, bahwa mandat tanpa pemahaman hukum hanyalah jalan menuju kehilangan legitimasi,” pungkasnya.
(Dul)