spot_img
Sabtu 18 Oktober 2025
spot_img

IAW Soroti Lemahnya Dasar Hukum dan Tata Kelola PT Agrinas

FOKUSJabar.id: Sekretaris Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyoroti status hukum PT Agrinas Palma Nusantara (Agrinas) yang hingga kini dinilai belum memiliki dasar legal yang kuat sebagai pengelola lahan sawit sitaan negara. Padahal, perusahaan ini didirikan dengan mandat penting untuk mengelola lahan eks Torganda di Sumatera Utara dan eks Duta Palma di Riau.

Menurut Iskandar, hingga saat ini Agrinas belum mengantongi Hak Guna Usaha (HGU), Nomor Induk Berusaha (NIB), maupun Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.

Baca Juga: Sukses Gelar Asia Afrika Festival 2025, Bandung Makin Melegenda

“Artinya, secara hukum agraria dan kehutanan, Agrinas belum menjadi subjek hak atas tanah. Mereka hanya berstatus pengelola administratif sementara. Posisi seperti ini, dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tergolong penggunaan kawasan tanpa dasar hukum tetap,” jelas Iskandar dalam keterangannya, Kamis (16/10/2025).

Iskandar menambahkan, bahkan Direktur Utama Agrinas Jenderal (Purn) Agus Sutomo telah mengakui kondisi tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI pada September lalu. Dalam forum itu, Dirut Agrinas meminta dukungan regulasi, termasuk penerbitan Instruksi Presiden (Inpres), untuk mempercepat proses pelepasan kawasan hutan.

“Permintaan Inpres itu sejatinya adalah pengakuan terbuka bahwa status hukum Agrinas masih rapuh, bahkan untuk ukuran BUMN,” ujar Iskandar.

Dua Gugatan di Lapangan

Masalah hukum Agrinas kini juga merembet ke pengadilan. Dua gugatan tengah dihadapi perusahaan tersebut.

Pertama, gugatan masyarakat adat dari tujuh desa di Kecamatan Simangambat, Sumatera Utara, yang menuntut realisasi kebun plasma 20 persen sesuai ketentuan. Gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri Padangsidimpuan karena Agrinas dianggap abai terhadap kewajiban kemitraan dengan masyarakat.

Iskandar menilai, tim hukum Agrinas tidak mampu menunjukkan bukti izin usaha maupun dokumen rencana pembangunan kebun masyarakat sebagaimana diatur dalam Permentan No. 98 Tahun 2013 Pasal 11.

“Kelemahan utama Agrinas adalah ketidakpahaman terhadap substansi kewajiban plasma. Tanpa bukti izin usaha dan perencanaan plasma, posisi hukum mereka sangat lemah,” tegasnya.

Gugatan kedua datang dari masyarakat di Riau, yang menuding Agrinas mengelola lahan eks Duta Palma tanpa izin yang jelas dan tanpa menjalankan kewajiban plasma. Menurut Iskandar, kasus ini menunjukkan bahwa Agrinas justru mengulangi pola pelanggaran yang dulu dilakukan oleh korporasi sawit swasta.

“Ironisnya, meski membawa nama negara, Agrinas belum menunjukkan transparansi pengelolaan lahan, tidak ada laporan publik tentang rencana kemitraan, dan minim pelibatan masyarakat lokal,” kata Iskandar.

Pola Lama yang Terulang

Berdasarkan temuan IAW terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI selama dua dekade terakhir, pelanggaran kewajiban plasma merupakan masalah klasik di industri sawit Indonesia.

Dari data 2004–2024, keterlambatan realisasi plasma mencapai rata-rata 7,8–10 tahun, dengan hanya 12 persen perusahaan yang diawasi konsisten. Selain itu, sekitar Rp 2,3 triliun dana kemitraan disalahgunakan, 45 persen lahan plasma belum bersertifikat, dan 78 persen pembinaan teknis tidak berkelanjutan.

“Perusahaan-perusahaan besar seperti Sinar Mas, Wilmar, Torganda, Musim Mas, Astra Agro, dan Surya Dumai telah tercatat sebagai pelanggar sistemik plasma. Ironis jika Agrinas yang membawa mandat negara justru mengulang pola yang sama,” ujar Iskandar.

Risiko Hukum Mengintai Agrinas

Iskandar menjelaskan, Agrinas kini menghadapi tiga jenis risiko hukum serius:

  1. Administratif: Potensi pencabutan mandat pengelolaan atau pembekuan operasional oleh pemerintah.
  2. Perdata: Gugatan ganti rugi dari masyarakat adat yang merasa dirugikan.
  3. Pidana: Dugaan pelanggaran terhadap UU Kehutanan dan UU Perkebunan.

Audit internal IAW juga menemukan kelemahan manajerial dan hukum di tubuh Agrinas. Seperti ketiadaan unit khusus compliance, pemahaman regulasi yang minim, serta ketidaksiapan menghadapi proses hukum di pengadilan.

“PT Agrinas berdiri atas mandat negara. Namun hingga kini masih beroperasi di atas lahan tanpa izin final dan dikelola tim hukum yang belum matang,” ungkapnya.

Rekomendasi IAW

Sebagai langkah perbaikan, IAW merekomendasikan:

  • Audit khusus BPK terhadap pengelolaan Agrinas, terutama terkait kewajiban plasma dan status lahan eks Torganda dan Duta Palma.
  • Sinkronisasi lintas kementerian agar status hukum aset lebih jelas.
  • Publikasi laporan plasma dan rencana pengelolaan tahunan secara terbuka.
  • Pembentukan unit hukum dan kepatuhan internal di tubuh Agrinas.
  • Evaluasi menyeluruh terhadap jajaran manajemen.

“Negara sedang belajar menegakkan ketertiban melalui BUMN-nya sendiri. Tapi bila tangan itu lemah, hukum akan jatuh ke pangkuan rakyat. Dua gugatan terhadap Agrinas adalah peringatan keras bahwa mandat tanpa pemahaman hukum hanya akan berujung pada hilangnya legitimasi,” pungkas Iskandar.

(Alpin)

spot_img

Berita Terbaru