CIAMIS,FOKUSJabar.id: Polemik kekosongan jabatan Wakil Bupati Ciamis kembali mencuat dan menjadi perhatian publik. Warga pun bertanya-tanya, apakah kekosongan itu terjadi karena kelalaian administrasi, atau justru karena belum adanya regulasi yang secara tegas mengatur situasi tersebut.
Sejak dilantiknya Herdiat Sunarya sebagai Bupati Ciamis periode 2025–2030 oleh Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (20/2/2025), Kabupaten Ciamis belum memiliki pendamping resmi. Hal ini terjadi karena calon wakilnya, Yana D. Putra, meninggal dunia dua hari sebelum pemungutan suara Pilkada Serentak 2024, tepatnya pada Senin (25/11/2024).
Herdiat dilantik berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pengesahan kepala daerah hasil Pilkada 2024. Namun hingga kini, posisi Wakil Bupati Ciamis masih kosong karena belum ada dasar hukum yang memungkinkan pengisian jabatan tersebut.
DPRD Ciamis: Tidak Ada Dasar Hukum Pengisian
Ketua DPRD Ciamis, Nanang Permana menegaskan kondisi ini berbeda dengan kasus kekosongan jabatan akibat pejabat yang meninggal dunia atau berhenti setelah dilantik.
“Pasal 176 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 hanya berlaku bagi wakil kepala daerah yang berhenti karena meninggal, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Dalam kasus ini, almarhum Pak Yana belum pernah dilantik, jadi tidak bisa disebut berhenti,” ujarnya dalam rapat konsultasi bersama partai pengusung pasangan Herdiat–Yana, Selasa malam (14/10/2025).
Menurut Nanang, jabatan wakil bupati di Ciamis belum pernah eksis secara hukum, sehingga tidak bisa diisi begitu saja.
“Kalau jabatan belum pernah ada, maka tidak bisa diisi. Itu logika hukumnya,” tegasnya.
Langkah Formal Sudah Ditempuh
Nanang menepis anggapan DPRD dan partai pengusung tidak bertindak. Ia menjelaskan bahwa langkah formal sudah dilakukan, termasuk dua kali konsultasi langsung ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta pengiriman surat resmi untuk meminta kejelasan hukum.
“Kami tidak tinggal diam seperti yang ramai di media sosial. Sudah dua kali kami konsultasi bahkan membahasnya secara intens bersama Kemendagri selama dua jam penuh dalam bimtek. Namun sampai sekarang belum ada kepastian hukum tertulis,” ungkapnya.
Selain itu, Bupati Ciamis Herdiat Sunarya juga telah mengirim surat resmi kepada Kemendagri pada 29 September 2025, meminta pedoman tertulis terkait penerapan Pasal 176 UU 10/2016 untuk kasus Ciamis.
“Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah pusat,” tambah Nanang.
Menunggu Diskresi dari Pemerintah Pusat
Dalam rapat yang dihadiri 16 partai pengusung (10 partai parlemen dan 6 non-parlemen), seluruh peserta sepakat bahwa mereka tidak menolak adanya wakil bupati, namun langkah tersebut tidak bisa dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
“Undang-undang menyebutkan dapat memiliki wakil, bukan wajib. Jadi boleh ada, boleh juga tidak, tergantung kondisi hukumnya,” jelas Nanang.
Ia menegaskan DPRD tidak memiliki kewenangan membuat aturan baru atau menafsirkan undang-undang di luar ketentuan.
“Kalau kami memaksakan pengisian tanpa dasar hukum, justru bisa melanggar undang-undang. Karena itu, kami menunggu keputusan dari pusat,” ujarnya.
Menurutnya, satu-satunya jalan keluar kini adalah diskresi atau kebijakan khusus dari Kemendagri, karena DPRD tidak bisa mengambil langkah hukum tanpa dasar kuat.
“Kami berharap Kemendagri dapat memberikan kebijakan baru untuk menjawab kekosongan jabatan yang belum pernah diisi sejak awal masa jabatan ini,” katanya.
Preseden Baru dalam Pemerintahan Daerah
Kondisi yang terjadi di Ciamis menjadi preseden baru dalam tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia. Jabatan wakil kepala daerah yang tidak pernah ada sejak awal masa jabatan, sementara masyarakat berharap posisi tersebut dapat terisi.
Hingga kini, baik DPRD, partai pengusung, maupun Bupati Herdiat Sunarya masih menunggu kejelasan dari pemerintah pusat.
“Kami bukan diam, tapi memang tidak ada dasar hukumnya. Kami hanya menunggu sikap resmi dari pemerintah pusat,” pungkas Nanang.
(Nank Irawan)