spot_img
Sabtu 4 Oktober 2025
spot_img

IAW: Pemerintahan Prabowo Tunjukkan Keberpihakan terhadap Petani Plasma Sawit

FOKUSJabar.id: Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan hak kebun plasma kelapa sawit sebesar minimal 20 persen dari total lahan perkebunan memasuki fase baru. Jika sebelumnya tuntutan hanya terdengar dari akar rumput, kini negara mulai menunjukkan keberpihakan dengan mengambil langkah konkret membenahi sistem kemitraan agraria, khususnya di sektor sawit.

Salah satu perkembangan terlihat pada mediasi di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Kamis (25/9/2025). Masyarakat adat Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, menggugat PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan BUMN pengelola aset negara hasil sitaan yang kini mengelola kebun sawit di wilayah tersebut serta Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).

Baca Juga: “Bebaskan PPP dari Permainan Sang Sengkuni”

Berbeda dari aksi protes biasanya, masyarakat memilih jalur dialog. Mereka mengusulkan solusi berbentuk kesepakatan tertulis yang diimplementasikan bertahap dengan pengawasan bersama secara transparan. Respons pemerintah pun mengejutkan: mereka bersedia membuka ruang mediasi.

“Satgas PKH dan PT Agrinas mulai mengakui plasma sebagai amanat undang-undang, bukan sekadar bonus sosial. Mereka bersedia berdialog dengan warga,” kata Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, Jumat (3/10/2025).

Menurut Iskandar, hal ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai memberi perhatian lebih pada isu plasma, bukan hanya sebagai kewajiban administratif, melainkan strategi kesejahteraan nasional.

Warisan Masalah Plasma

Isu plasma bukan hal baru. Audit BPK selama dua dekade terakhir menemukan mayoritas perusahaan sawit gagal memenuhi kewajiban plasma tepat waktu. Rata-rata keterlambatan mencapai 7,8 hingga 10 tahun, jauh melampaui batas maksimal tiga tahun. Hanya sekitar 12 persen perusahaan yang konsisten memenuhi kewajiban.

Tak hanya itu, BPK mencatat penyalahgunaan dana kemitraan hingga Rp2,3 triliun. Hampir setengah lahan plasma juga belum bersertifikat, sehingga rawan konflik agraria. Sementara, 78 persen program pembinaan teknis bagi petani plasma tidak berjalan.

Beberapa perusahaan besar pun tercatat dalam temuan BPK, di antaranya Sinar Mas, Lonsum, Torganda, Wilmar, First Resources, Asian Agri, Astra Agro, Surya Dumai, dan Musim Mas.

Dukungan Politik Daerah

Gelombang dukungan terhadap hak plasma juga menguat di daerah lain. Di Riau, Ketua DPRD Riau, Kaderismanto, menegaskan seluruh fraksi menyepakati pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban plasma 20 persen.

“Sudah terlalu banyak laporan dari warga. Pansus adalah komitmen kita membela rakyat,” ujarnya.

Langkah serentak antara masyarakat adat, legislatif daerah, dan pemerintah pusat menunjukkan bahwa isu plasma kini dipandang serius. Padahal, regulasi sudah jelas, mulai dari UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, PP No. 26 Tahun 2021, hingga Permentan No. 98/2013 dan 18/2021. Aturan itu mencantumkan sanksi administratif, pidana hingga lima tahun, dan denda maksimal Rp10 miliar bagi pelanggar.

Sikap PT Agrinas

PT Agrinas Palma Nusantara sendiri masih menunggu pengesahan regulasi DPR RI terkait legalitas pengelolaan lahan serta percepatan pelepasan kawasan hutan. Namun, perusahaan BUMN ini telah menunjukkan itikad baik dengan membuka pintu mediasi dan menyatakan kesediaan melaksanakan kewajiban plasma sesuai hukum.

“Meski status hukum Agrinas belum sempurna, setidaknya mereka menunjukkan komitmen berbeda: mematuhi undang-undang, bukan melawannya,” jelas Iskandar.

Rekomendasi IAW

IAW mendorong beberapa langkah strategis, antara lain:

  • Membentuk database nasional kepatuhan plasma.
  • Membentuk Pansus Plasma di setiap provinsi.
  • Mencabut izin perusahaan yang melanggar.
  • Melakukan audit menyeluruh atas dugaan kerugian negara.
  • Memperkuat koperasi petani agar tidak mudah diintervensi korporasi.

Mediasi di Padangsidimpuan disebut sebagai titik balik penting: negara kini berkomitmen menegakkan hak plasma sebagai kewajiban hukum. Di Riau, dukungan politik menambah bobot bahwa isu ini layak masuk agenda besar reformasi agraria nasional.

Bagi IAW, perjuangan hak plasma bukan sekadar distribusi ekonomi, melainkan pemulihan keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara.

“Kini tinggal pertanyaannya, apakah Padangsidimpuan dan Riau akan menjadi awal babak baru penegakan plasma nasional, atau sekadar catatan kecil dalam sejarah panjang pengkhianatan sawit?” pungkas Iskandar.

(Alpin)

spot_img

Berita Terbaru