BANJAR,FOKUSJabar.id: Aktivis sosial dan pemerhati pemerintahan, Irwan Herwanto, menyoroti kondisi Kota Banjar yang menurutnya masih jauh dari harapan, meski telah lebih dari 150 hari Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih resmi menjabat sejak pelantikan pada 20 Februari 2025.
Pernyataan Irwan muncul sebagai tanggapan atas istilah “Banjar Ripuh” yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi beberapa waktu lalu. Menurutnya, istilah itu lebih menggambarkan realita saat ini dibandingkan slogan resmi “Banjar Berdaya”.
“Slogan Banjar Berdaya belum terasa nyata di masyarakat. Justru Banjar Ripuh lebih sering menjadi perbincangan karena mencerminkan kondisi faktual di lapangan,” ungkap Irwan, Rabu (23/7/2025).
Baca Juga: Dua Atlet Nasional Hengkang dari Banjar, KONI Ultimatum Pemkot
Ia menilai, program-program pemerintah cenderung bersifat seremonial dan belum menyentuh akar persoalan masyarakat secara langsung. Irwan bahkan menyebut slogan “Berdaya” hanya rebranding dari program lama yang dibalut nama dan narasi baru.
Sebagai kota kecil di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, Banjar memiliki posisi strategis sebagai kota transit dan pintu gerbang. Namun, menurut Irwan, potensi tersebut belum termanfaatkan maksimal.
“Banjar pernah dikenal sebagai kota yang tak pernah tidur. Kini geliat itu seakan sirna. Aktivitas ekonomi melambat, pusat kota tidak seramai dulu, dan banyak pemuda terpaksa merantau karena minimnya peluang kerja,” ujarnya.
Tantangan Ekonomi dan Sosial
Irwan menyoroti masih tingginya tingkat kemiskinan di Kota Banjar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per April 2025, jumlah penduduk miskin di Banjar mencapai 5,35% atau sekitar 11.200 jiwa dari total 209.100 jiwa. Meski di bawah rata-rata Jawa Barat yang 7,08%, angka itu tetap menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah kota.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Banjar juga tertinggal. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita hanya mencapai Rp26,4 juta, hampir separuh dari rata-rata PDRB Jawa Barat yang mencapai Rp52,65 juta.
“Ini mencerminkan rendahnya daya saing ekonomi dan lemahnya investasi lokal,” kata Irwan.
Sektor ketenagakerjaan pun masih didominasi oleh sektor informal dan pertanian tradisional. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) per April 2025 tercatat 5,44%. Kurangnya lapangan kerja membuat banyak anak muda memilih keluar daerah, bahkan ke luar negeri.
Ketimpangan Infrastruktur dan Kualitas Hidup
Tak hanya ekonomi, Irwan juga menyoroti minimnya pemerataan layanan sosial. Rasio fasilitas kesehatan dan tenaga medis masih belum ideal. Beberapa Puskesmas kekurangan dokter dan perawat. Sementara dari sisi pendidikan, rata-rata lama sekolah warga Banjar hanya 7,8 tahun, setara jenjang SMP.
“Ironis jika berbicara soal ‘Berdaya’, tapi rakyat masih kesulitan akses layanan dasar,” cetusnya.
Pemberdayaan Harus Nyata, Bukan Sekadar Poster
Irwan menegaskan bahwa pemberdayaan sejati seharusnya membawa kemandirian. Ia menyayangkan program-program seperti penguatan UMKM, wisata lokal, hingga pemberdayaan desa, masih minim realisasi di lapangan. Birokrasi yang rumit, evaluasi yang lemah, dan praktik KKN yang masih terjadi menjadi penghambat utama.
Lebih memprihatinkan lagi, kata Irwan, Kota Banjar belum mampu berdiri secara fiskal. Lebih dari 70% APBD masih bersumber dari dana transfer pusat seperti DAU dan DAK. Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya menyumbang sekitar 11%, dan pada pertengahan 2025, capaian PAD baru mencapai 14,5%. Tahun sebelumnya, Banjar bahkan mengalami defisit anggaran cukup besar.
“Jika terus begini, ‘Banjar Berdaya’ hanya akan jadi slogan kosong. Warganya tetap terjebak dalam kerentanan ekonomi dan sosial,” tegasnya.
Irwan mengajak semua elemen, mulai dari pemerintah, DPRD, akademisi, aparat hukum hingga masyarakat, untuk bersatu menghadirkan perubahan nyata.
“Banjar Berdaya, Bangun Masagi, seharusnya menjadi gerakan kolektif. Bukan hanya jargon politik, tapi solusi konkret yang memandirikan rakyat,” pungkasnya.
(Agus)