BANDUNG,FOKUSjabar.id: Berdasarkan survei TomTom Traffic Index 2024, Kota Bandung dinobatkan sebagai kota paling macet di Indonesia, mengungguli kota-kota besar lain seperti Medan, Palembang, Surabaya, dan Jakarta.
Menanggapi kondisi ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tengah menyiapkan sejumlah strategi berbasis teknologi untuk mengurai kemacetan, terutama yang kerap terjadi di titik-titik persimpangan.
Baca Juga: Polres Cimahi Tangkap 23 Pengedar Narkoba, Termasuk Residivis dan Ibu Rumah Tangga
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, mengungkapkan bahwa salah satu solusi yang sedang dikembangkan adalah penerapan Area Traffic Control System (ATCS) sistem pengatur lalu lintas yang dapat menyesuaikan durasi lampu merah dan hijau secara real time berdasarkan volume kendaraan.
“Saya sudah bertemu dengan Dinas Perhubungan. Saya minta agar ATCS segera dioptimalkan. Mereka baru akan melaporkan progresnya pada hari Kamis,” ujar Farhan, Rabu (23/7/2025).
Farhan menegaskan bahwa perangkat ATCS di Kota Bandung sejatinya sudah tersedia dan cukup canggih. Namun, sistem tersebut belum bisa berfungsi otomatis karena masih terkendala ketersediaan data pergerakan kendaraan yang memadai.
“Alatnya sih sudah siap. Tapi ATCS akan bekerja optimal kalau punya data akurat. Selama ini belum bisa otomatis karena data pendukungnya belum ada,” jelasnya.
Untuk mengatasi hal itu, pihak Pemkot tengah menjajaki kerja sama dengan penyedia layanan big data, terutama perusahaan yang memiliki data pergerakan kendaraan berbasis GPS.
“Kami butuh data real time, misalnya untuk menyesuaikan durasi lampu merah dan hijau berdasarkan hari, waktu, dan tingkat kepadatan. Tanpa data itu, sistem masih harus dioperasikan secara manual,” kata Farhan.
Penyesuaian Jam Sekolah Masih Dievaluasi
Selain memanfaatkan teknologi, Pemkot Bandung juga tengah melakukan pengaturan ulang jam masuk sekolah, sebagai bagian dari upaya mengurangi kemacetan pada pagi hari.
Farhan mengakui, penerapan kebijakan tersebut baru berlangsung selama satu minggu, sehingga belum bisa dievaluasi secara menyeluruh.
“Dari pantauan di beberapa titik seperti Jalan Riau, Sumatera, Belitung, dan Kalimantan, kemacetan mulai berkurang. Tapi di daerah seperti Cibiru, saya lihat masih macet saat jam pulang sekolah. Ternyata bukan cuma jam masuk yang penting, tapi juga jam bubar sekolah,” jelasnya.
Untuk itu, evaluasi komprehensif terhadap efektivitas pengaturan jam sekolah baru akan dilakukan setelah berjalan minimal tiga bulan.
“Perubahan perilaku butuh waktu. Sekarang masih tahap pengamatan awal, belum bisa disimpulkan hasilnya,” tutup Farhan.
(Yusuf Mugni)