PANGANDARAN,FOKUSJabar.id: Perayaan Hajat Laut di Pantai Barat Pangandaran tahun ini terasa jauh lebih istimewa dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, tradisi tahunan yang digelar masyarakat pesisir ini bertepatan dengan hari yang dianggap sakral oleh masyarakat Jawa dan Sunda, yakni Satu Suro yang jatuh pada Jumat Kliwon, Jumat (27/6/2025).
Tokoh budaya Pangandaran, Yana Macan, menyebut momen ini sangat langka. Menurutnya, kombinasi antara Satu Suro dan Jumat Kliwon hanya terjadi sekali dalam dua dekade lebih.
Baca Juga: Sebanyak 339 PPPK di Pangandaran Teken Berkas Pengangkatan, Siap Dilantik Bupati
“Ini sangat spesial. Untuk kembali bertemu dengan momen seperti ini, kita harus menunggu hingga 21 tahun. Tahun depan saja tidak akan ada Jumat Kliwon di bulan Muharam,” ujar Yana dengan penuh kebanggaan.
Yana yang juga merupakan anggota Dewan Kebudayaan Daerah (DKD) Pangandaran, sangat mengapresiasi antusiasme masyarakat dalam melestarikan tradisi Hajat Laut. Ia berharap tradisi ini bisa menjadi agenda budaya ikonik yang menjadi daya tarik wisata budaya di Kabupaten Pangandaran.
“Saya ingin tradisi ini terus dilestarikan dan menjadi salah satu kekayaan budaya yang membedakan Pangandaran dari daerah lain,” tambahnya.
Sementara itu, Edi Rusmiadi, selaku Ketua Pelaksana Hajat Laut, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat pesisir terhadap rezeki yang diberikan Sang Pencipta melalui hasil laut.
“Ini adalah bentuk syukur kami, para nelayan dan masyarakat pesisir, atas berkah yang kami terima dari laut. Semua warga yang mendapat penghasilan dari laut terlibat dalam perayaan ini,” jelas Edi.
Simbol Kebersamaan dan Rasa Syukur
Dalam tradisi ini, masyarakat membawa nasi tumpeng serta berbagai makanan dan minuman hasil bumi lainnya. Setelah doa bersama dipanjatkan, seluruh peserta makan bersama sebagai simbol kebersamaan dan syukur.
Tak hanya itu, rangkaian acara juga diisi dengan tradisi “ijab dongdang” yang digelar pada waktu sareupna (menjelang malam). Setelah itu, makanan dan sesaji dijaga hingga pagi hari, dalam tradisi yang dikenal sebagai “dikemit sampai bray”.
Perpaduan antara nilai spiritual, budaya, dan kekeluargaan membuat Hajat Laut Pangandaran tak sekadar tradisi, melainkan juga perwujudan identitas masyarakat pesisir yang erat dengan alam dan spiritualitas.
(Sajidin)