spot_img
Jumat 25 April 2025
spot_imgspot_img

Polemik Pemilihan Rektor UPI Memanas: SA Bongkar Potensi Konspirasi dalam Aturan Baru

BANDUNG,FOKUSJabar.id: Gelombang kekhawatiran menerpa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjelang pemilihan rektor periode 2025-2030.

Sembilan anggota Senat Akademik (SA) secara terbuka mendesak Majelis Wali Amanat (MWA) segera merevisi Peraturan MWA Nomor 1/2025 yang mengatur proses pemilihan rektor.

Mereka menilai, pasal-pasal dalam peraturan tersebut berpotensi kuat memicu konspirasi, menginjak-injak nilai demokrasi, serta melanggar Statuta UPI.

Kecurigaan ini berakar dari pengalaman pahit sebelumnya. Jubir sembilan anggota SA Elly Malihah, mengungkapkan,  metode one person nine vote dalam pemilihan anggota MWA telah menodai asas demokrasi dan membuka celah praktik konspiratif.

“Ini jelas menciptakan hegemoni dan tirani mayoritas,” tegas Elly dalam pernyataan resminya, Jumat (25/4/2025).

BACA JUGA: Ahli AI Prof. Dr. Suyanto resmi Jadi Rektor Tel-U 2025-2030

Harapan sempat merekah ketika Ketua MWA UPI, Nanan Soekarna, mendeklarasikan tagline “values for value, full commitment, no conspiracy” saat pengumuman tahapan pemilihan rektor.

Sembilan anggota SA yang hampir kehilangan harapan pun memberanikan diri mengirimkan surat audiensi kepada Ketua MWA.

Setelah lebih dari dua pekan, pertemuan antara sembilan anggota SA dan anggota MWA UPI digelar  pada 15 April 2025 di University Center UPI.

Keberatan SA Terhadap Pasal 17 Peraturan MWA

Dalam pertemuan tersebut, SA menyampaikan keberatannya terhadap Pasal 17 Peraturan MWA Nomor 1/2025.

“Pasal 17 secara eksplisit mengatur penyaringan bakal calon rektor dari sejumlah nama menjadi tiga kandidat melalui pemungutan suara one person three vote. Metode ini sangat rawan dimanfaatkan untuk menyusun permufakatan jahat, meloloskan tiga calon titipan, dan menyingkirkan kandidat potensial di luar kelompok tertentu,” papar Elly.

Lebih lanjut, Elly menyoroti bahwa pasal tersebut secara signifikan mereduksi hak suara Mendikbud. Di mana seharusnya memiliki bobot 35 persen  satu suara.

Padahal, pemilihan rektor merupakan rangkaian utuh yang meliputi penjaringan, penyaringan, dan pemilihan. “Hak istimewa 35 persen suara pemerintah yang diwakili oleh menteri seharusnya berlaku di setiap tahapan. Kami melihat peraturan MWA yang menyamakan suara Menteri dengan anggota MWA lainnya sebagai cacat hukum,” kata dia.

Revisi Peraturan MWA No 1/2025

Pihaknya menuntut revisi Pasal 17 Peraturan MWA Nomor 1/2025 menjadi one person one vote dan mengembalikan hak suara Menteri sebesar 35 persen. Jika tuntutan ini diabaikan, tagline ‘values for value, full commitment, no conspiracy’ hanyalah retorika kosong.

“Tanpa perubahan mendasar pada Pasal 17, peraturan MWA berpotensi menimbulkan persoalan hukum yang serius dan mengancam kelancaran proses penetapan rektor,” kata dia.

Hal senada disampaikan Guru Besar bidang Ilmu Manajemen UPI, Nugraha. Dia menekankan bahwa fondasi demokrasi yang sehat terletak pada prinsip one man, one vote. Praktik one man three vote membuka lebar pintu bagi konspirasi kekuasaan.

“Kelompok mayoritas dapat dengan mudah mengkonsolidasikan kekuatan pada satu figur yang diberi banyak suara. Sehingga hasil pemungutan suara dapat diprediksi sebelum musyawarah yang sesungguhnya terjadi,” ungkap Nugraha.

“Ini jelas merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi dan mereduksi suara kelompok lain,” kata dia menambahkan.

Menurut dia, praktik semacam ini dapat berimplikasi luas pada proses pengambilan keputusan strategis di UPI. Mulai dari pemilihan rektor hingga perencanaan anggaran dan pengawasan.

Kepentingan kelompok tertentu berpotensi mendominasi, sementara suara civitas akademika yang seharusnya memiliki representasi setara justru terpinggirkan.

“Jika satu orang dapat memiliki tiga atau bahkan sembilan suara, di mana letak keadilan representatif bagi seluruh civitas akademika?” kata dia.

(Arif/LIN)

spot_img

Berita Terbaru