BANDUNG,FOKUSJabar.id: Sebuah diskusi publik bertajuk “Quo Vadis: Pilkada Langsung dan Tidak Langsung” digelar di GGM Bandung, dengan menghadirkan Fahmy Iss Wahyudi, peneliti dari Indonesian Political Research Center (IPRC).
Dalam kesempatan ini, Fahmy menekankan perlunya evaluasi mendalam sebelum mengambil keputusan terkait mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) di masa depan.
Fahmy mengungkapkan bahwa tidak bisa langsung disimpulkan apakah Pilkada ke depan harus dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung.
BACA JUGA: IPRC: Tidak Ada Parpol Mendominasi di Kota Bandung
Dia menegaskan pentingnya kajian komprehensif untuk menilai dampak positif dan negatif dari Pilkada sebelumnya.
“Jangan sampai kesimpulan sudah diambil bahwa Pilkada harus tidak langsung tanpa ada evaluasi yang mendalam. Ini bisa menjadi langkah yang kurang bijaksana,” kata Fahmy di Bandung, Rabu (19/3/2025).

Masing-masing Kelebihan Pilkada Langsung dan Tidak
Menurut Fahmy, baik Pilkada langsung maupun tidak langsung memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Pilkada langsung memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih langsung pemimpin daerah, namun juga rentan terhadap praktik politik uang.
Di sisi lain, Pilkada tidak langsung mengurangi potensi politik uang, namun dapat menyebabkan jarak antara rakyat dan pemimpin terpilih.
“Ketika Pilkada dilakukan secara tidak langsung, masyarakat sering merasa terputus dari pemimpin mereka karena tidak memiliki peran langsung dalam pemilihan kepala daerah. Ini perlu diwaspadai jika sistem Pilkada tidak langsung diterapkan lagi,” kata dia.
Fahmy juga memprediksi bahwa isu perubahan regulasi Pilkada akan kembali menjadi perdebatan publik dalam dua hingga empat bulan ke depan. Ia menilai pembahasan ini tidak akan selesai dalam waktu singkat, karena revisi undang-undang harus terlebih dahulu dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Fahmy mengingatkan perlunya peningkatan pendidikan politik dan penegakan hukum untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi Pilkada. Dia menilai salah satu masalah besar dalam Pilkada langsung adalah maraknya politik uang, meskipun sudah ada peraturan yang melarangnya, namun penegakan hukum masih lemah.
“Jika masyarakat dianggap belum siap, maka negara harus mempersiapkan mereka dengan meningkatkan pendidikan politik dan memperkuat penegakan hukum terhadap politik uang. Dengan regulasi yang lebih ketat dan aparat yang bekerja secara maksimal, masyarakat bisa lebih rasional dalam menentukan pilihan mereka,” kata dia.
Diskusi ini menjadi bagian dari refleksi mengenai praktik demokrasi di Indonesia yang terus berkembang dalam upaya mencari format terbaik untuk pemilihan kepala daerah.
Sebagai penutup, Fahmy menegaskan bahwa keputusan apakah Pilkada akan tetap dilakukan secara langsung atau kembali ke sistem tidak langsung, masih memerlukan kajian lebih lanjut, dengan mempertimbangkan berbagai aspek politik, sosial, dan hukum.
(LIN)