BANDUNG,FOKUSJabar.id: Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) mengaku, dihadapkan tantangan besar mencapai target ambisius pemerintah terkait akses air minum aman.
Hal itu sebagaimana telah ditetapkannya misi asa cita Presiden RI Prabowo Subianto, dimana salah satu target utamanya meningkatkan cakupan layanan air minum perpipaan dari 22 persen (2024) menjadi 40 persen pada 2029.
BACA JUGA: Musrenbang 2026, Dinkes Kota Tasikmalaya Berkomitmen Tingkatkan Derajat Kesehatan
“Jika pencapaian 22 persen ini memakan waktu lebih dari 70 tahun, maka mengejar tambahan 18 persen dalam lima tahun membutuhkan kecepatan luar biasa. BUMD Air Minum (AM) bukan hanya harus berjalan cepat, tetapi harus ‘berlari’,” kata Direktur Eksekutif Perpamsi Subekti di Hotel Haris Jalan Peta Kota Bandung Jabar Kamis (13/2/2025).
Subekti menyebut, jangankan berlari. Berjalan pun, PDAM atau BUMD AM masih terseok-seok karena berbagai tantangan. Persoalan yang mengemuka, tidak lebih besar dari persoalan yang berada di bawah permukaan.
“Seperti tarif belum full atau cost recovery (FCR), angka kehilangan air atau non revenue water (NRW) yang masih tinggi, kurangnya ketersediaan sumber air, pencemaran sumber air baku, perubahan iklim dan lain-lain,”katanya.
Tak hanya itu, BUMD AM pun harus dihadapkan dengan tantangan lainnya yakni regulasi. Sedikitnya ada tiga produk hukum yang menghambat untuk mengejar angka 40 persen tersebut.
Padahal, tanpa tali pengikat ini, BUMD AM pun masih harus berjuang menghadapi tantangan eksternal.
“Pertama adalah Permen PUPR No.3/2023, dimana mengatur tata cara perizinan sumber daya air, tetapi memberikan sanksi administratif yang berlaku surut sejak 1 November 2019. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku umum di Indonesia,”ujarnya.
Produk hukum kedua, adalah Permen ESDM No.14/2024. Permen ini menghilangkan kewajiban swasta untuk mendapatkan rekomendasi dari BUMD AM sebelum melakukan pengeboran air tanah.
Akibatnya, BUMD AM kehilangan kontrol atas sumber daya yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Hal ini juga membuka peluang bagi eksploitasi air tanah yang tidak terkendali, dan menyebabkan potensi naiknya muka air laut.
“Jadi pada hakikatnya, penghilangan syarat rekomendasi BUMD AM ini menghilangkan kesempatan pemerintah untuk melayani lebih banyak masyarakat yang membutuhkan air bersih. Dampak dari ekplorasi air tanah yang berlebihan sudah terjadi penurunan permukaan air tanah, yang berakibat pada intrusi air laut di beberapa daerah pesisir tanah air,” jelasnya.
Terakhir, adalah PP No.5/21 tentang pembatasan pengambilan air tanah hingga 20 persen dari potensi mata air yang tersedia sebagaimana diatur PP 5/2021 turut menambah beban operasional BUMD AM.
Batasan ini, dinilai tidak memperhitungkan kebutuhan nyata masyarakat khususnya di daerah yang sangat bergantung pada layanan air bersih perpipaan. Akibatnya, pelayanan kepada masyarakat terancam terganggu.
“Dampaknya jelas pelayanan air minum bagi jutaan penduduk akan terganggu. Ketentuan ini juga menciptakan ketidakpastian bagi BUMD AM yang pada akhirnya berdampak pada kualitas layanan. Dengan keterbatasan akses terhadap sumber air baku, kami pun terpaksa mencari alternatif yang sering kali lebih mahal dan kurang efisien,” pungkasnya.
(Yusuf Mugni)