BANDUNG,FOKUSJabar.id: Desakan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk secepatnya memanggil dan memeriksa Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia semakin kencang. Seperti diketahui, mantan Ketua Umum BPP HIPMI ini sudah dilaporkan ke lembaga anti rasuah oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) terkait peranannya dalam dugaan kasus perizinan di sektor pertambangan.
Desakan untuk pemanggilan Bahlil Lahadalia diutarakan Gerakan Arus Bawah Demokrasi (GABDEM) yang menduga sang Menteri menarik fee untuk pengaktifan kembali izin tambang yang sebelumnya telah dicabut dengan alasan tidak produktif. Bahkan Bahlil Lahadalia pun ditengarai meminta saham perusahaan yang izinnya dikembalikan.
“Berdasarkan investigasi yang kami lakukan dan dari sumber terpercaya, saudara Bahlil cenderung tebang pilih dalam mencabut izin pertambangan yang tidak produktif. Sebagai contoh, izin tambang milik PT Meta Mineral Pradana di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, tidak ditutup atau dicabut meskipun tidak beroperasi sejak tahun 2010 dan belakangan terungkap jika pemegang saham mayoritas PT Meta Mineral Pradana adalah PT Papua Bersama Unggul yang dimiliki saudara Bahlil sendiri,” kata Koordinator GABDEM, Asvin Ahmad melalui keterangan tertulis, Sabtu (23/3/2024).
Namun pada saat bersamaan, lanjut Asvin, puluhan izin untuk wilayah konsesi yang berdekatan dengan konsesi PT Meta Mineral justru dicabut. Menteri Bahlil Lahadalia pun diduga melakukan praktik pemerasan dan atau jual beli izin pertambangan kepada beberapa perusahaan yang berkepentingan.
Modus operasi yang digunakan, kata Asvin, yakni dengan meminta uang dan atau saham melalui orang-orang terdekatnya kepada perusahaan yang menginginkan izinnya dihidupkan kembali.
“Peran saudara Bahlil adalah membuat pemetaan semua izin tambang dan perkebunan, hak guna usaha, dan konsesi kawasan hutan. Saudara Bahlil kemudian mencabut ribuan izin yang dianggap tidak produktif yang selanjutnya, melalui orang-orangnya, meminta fee kepada sejumlah pengusaha yang ingin izinnya diaktifkan kembali,” Asvin menerangkan.
Asvin menuturkan, berdasarkan keterangan sejumlah pengusaha, besaran fee yang diminta orang-orang kepercayaan Bahlil Lahadalia antara Rp5 milyar hingga Rp25 milyar. Selain itu, orang-orang kepercayaan Bahlil Lahadalia pun disebut-sebut meminta saham perusahaan sekitar 30 persen untuk menghidupkan kembali izin usaha yang telah dibatalkan.
“Sementara bagi izin pertambangan yang tidak aktif, saudara Bahlil melelangnya secara terbuka, beberapa dibagikan kepada organisasi kemasyarakatan, koperasi, dan lain-lain sebagai hadiah,” dia menambahkan.
Asvin menilai, yang dilakukan Bahlil Lahadalia melalui orang-orang terdekatnya diduga telah melanggar beberapa aturan. Antara lain Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 51 dan 61.
Selain itu, pelelangan izin tambang yang dilakukan Bahlil Lahadalia melalui satgas investasi seharusnya dilakukan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Saudara Bahlil diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi dengan mematok tarif atau fee terkait dengan pencabutan dan atau pengaktifan kembali izin tambang serta melakukan penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada kerugian keuangan atau perekonomian negara,” Asvin menjelaskan.
Delik aduan atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Bahlil Lahadalia, kata Asvin, adalah delik gratifikasi, suap-menyuap dan pemerasan. “Karena itu, kami memohon KPK untuk menindaklanjuti laporan pengaduan tindak pidana korupsi yang dilakukan saudara Bahlil ini,” Asvin menegaskan.
(Ageng)