JAKARTA,FOKUSJabar.id: Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri resmi menetapkan Pemimpin Pondok Pesantren Al Zaytun, Panji Gumilang, sebagai tersangka kasus penodaan agama.
Diketahui, Panji juga telah ditahan di rumah tahanan (Rutan) Bareskrim, Rabu (2/8/2023).
SETARA Institute menilai, sebagai ahli agama dan akademisi apa yang dinyatakan Panji merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang lumrah dalam khazanah keagamaan.
“Namun sebagaimana menjadi pola sepanjang pemerintahan Jokowi, langkah ini merupakan cara mudah untuk melayani selera dan sentimen politik kelompok konservatif di tahun politik,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, dalam keterangan tertulisnya.
BACA JUGA: Polemik Kabasarnas, Pimpinan KPK Alexander Marwata Dilaporkan ke Dewas
SETARA memandang bahwa pemerintahan Jokowi telah meninggalkan warisan yang buruk bagi kebebasan beragama berkeyakinan (KBB) dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Sepanjang hukum penodaan agama masih digunakan, SETARA memandang bahwa di masa depan akan terus berjatuhan korban kriminalisasi menggunakan pasal-pasal penodaan agama.
“Dengan memanipulasi otoritas agama, seseorang atau komunitas tertentu akan dengan mudah dikriminalisasi melalui proses yang diklaim pemerintah sebagai penegakan hukum,” kata Halili.
SETARA Institute mencatat, bahwa sepanjang pemerintahan Jokowi terjadi lonjakan hebat kasus-kasus penodaan agama. Data SETARA menunjukkan, hingga akhir 2022 telah terjadi 187 kasus penodaan agama.
Terdapat empat kasus pada rentang 1955-1966, empat kasus antara 1967-1998, nihil kasus sepanjang 1999-2001, tiga kasus pada rentang 2002-2003, 54 kasus sepanjang 2004-2013, dan 122 kasus pada rentang 2014-2022.
SETARA Institute menilai, penetapan tersangka Panji Gumilang (PG) menambah deretan pelanggaran KBB dan pelanggaran kebebasan berekspresi pada pemerintahan Jokowi.
Presiden, kata SETARA Institute, tidak bisa mengabaikan fakta ini, bukan saja karena kepolisian dan kejaksaan berada di bawah wewenangnya, akan tetapi menguat gejala ketundukan aparatur pemerintahan pada fatwa MUI yang secara legal bukanlah peraturan perundang-undangan.
Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berulangkali mendesak agar negara anggotanya menghapus hukum penodaan agama dari hukum nasional sebagai salah satu prasyarat negara demokrasi, hingga kini pemerintahan Jokowi dinilai selalu tunduk pada pandangan keagamaan MUI dan kelompok keagamaan konservatif.
“SETARA Institute mempertanyakan retorika keberlanjutan yang digaungkan oleh pemerintahan Jokowi. Keberlanjutan impunitas dan keberlanjutan pelanggaran HAM, termasuk kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal penodaan agama, merupakan sisi minor dari retorika keberlanjutan oleh pemerintahan ini. Kriminalisasi PG merupakan penegas bahwa pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran KBB dan kebebasan berekspresi, akan berlanjut,” demikian pernyataan SETARA Institute.
(Agung)