Senin 20 Januari 2025

MK Tolak Gugatan Batasan Masa Jabatan Ketum Parpol

JAKARTA,FOKUSJabar.id: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Partai Politik terkait batasan masa jabatan ketua umum partai politik. Dalam uji materi itu, pemohon meminta agar masa jabatan ketua umum (Ketum) parpol dibatasi maksimal 10 tahun.

Adapun, sidang UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) terhadap UUD 1945 itu digelar di Ruang Sidang Pleno MK, pada Senin (31/7/2023).

Dalam amar Putusan Nomor 69/PUU-XXI/2023, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.

“Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Permohonan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” kata Ketua MK, Anwar Usman saat membacakan konklusi putusan.

BACA JUGA: Relawan Jokowi Laporkan Rocky Gerung ke Polda Metro

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, MK menyebut, Pemohon I dan Pemohon II merupakan perorangan Warga Negara Indonesia.

Pemohon II juga tergabung dalam organisasi dan menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) periode 2021- 2023, namun bukan organisasi partai politik.

Kedua Pemohon baru hanya memiliki keinginan untuk bergabung dalam organisasi partai politik, namun belum ada langkah konkret terkait dengan keinginan tersebut.

Oleh sebab itu, Majelis Hakim menilai, tidak jelas potensi kerugian konstitusional mereka akibat tidak adanya pembatasan masa jabatan ketum parpol.

“Dalam konteks ini, menurut Mahkamah, terhadap kualifikasi Pemohon I dan Pemohon II tidak secara jelas dan rinci menguraikan kualifikasinya dalam kaitan ihwal anggapan potensi kerugian hak konstitusional yang timbul karena berlakunya norma Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011,” ujar Guntur dalam sidang, melansir IDN.

Di samping itu, Guntur melanjutkan, Pemohon I dan Pemohon II juga tidak dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara potensi kerugian hak konstitusional dimaksud dengan berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujian.

Sehingga tidak ditemukan adanya keterkaitan atau hubungan secara langsung kualifikasi Pemohon I dan Pemohon II sebagai perorangan warga Negara Indonesia, yang ingin bergabung menjadi anggota salah satu partai politik dengan norma Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011.

Bahkan, sekiranya kualifikasi Pemohon I dan Pemohon Il ditemukan langkah-langkah konkret untuk menjadi anggota partai politik, hal ini belum cukup juga menggambarkan adanya keterpenuhan syarat kualifikasi tersebut.

“Dengan demikian, baik Pemohon I maupun Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” lanjut Guntur.

Kemudian, terhadap Pemohon III, setelah Mahkamah mencermati permohonan dan bukti-bukti yang diajukan dalam menerangkan kualifikasinya, ternyata Mahkamah hanya menemukan bukti berupa fotokopi Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Nomor: SKEP. 45/DPPIGOLKARMI/2021 tentang Pengesahan Komposisi dan Personalia Badan Penanggulangan Bencana DPP Partai Golkar Masa Bakti 2019-2024 (Hasil Perubahan).

Selain itu, fakta hukum yang terungkap di persidangan, Pemohon tidak dapat menunjukkan kartu anggota sebagai bukti keanggotaan dari partai Golkar. Artinya, Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Nomor: SKEP-45/OPPIGOLKAR/VII/2021 tidak cukup untuk membuktikan bahwa Pemohon III adalah anggota apalagi pengurus partai Golkar.

Terlebih lagi, nama yang tercantum dalam SK dimaksud berbeda dengan nama yang dicantumkan dalam permohonan a quo dan KTP Pemohon III. Dengan demikian, Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan bahwa Pemohon III adalah anggota partai politik apalagi pengurus partai politik. Sehingga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

(Agung)

Berita Terbaru

spot_img