JAKARTA,FOKUSjabar.id: Gubernur Papua nonaktif, Lukas Enembe menyatakan nota keberatan terhadap dakwaan korupsi Rp46,8 miliar. Politikus Partai Demokrat itu merasa dirinya telah difitnah.
Nota keberatan itu dibacakan oleh kuasa hukumnya, Petrus Bala Pattyona. Hal ini dilakukan lantaran Lukas sedang sakit.
“Untuk rakyatku Papua di mana saja berada. Saya, gubernur yang Anda pilih untuk 2 periode, saya kepala adat, saya difitnah, saya dizalimi, dan saya dimiskinkan. Saya, Lukas Enembe tidak pernah merampok uang negara, tidak pernah menerima suap, tetapi tetap saja KPK menggiring opini publik, seolah-olah saya penjahat besar,” kata Petrus Bala Pattyona, Senin (19/6/2023).
Lukas Enembe juga menyinggung riwayat penyakitnya sebelum ditahan hingga saat ditahan KPK. Ia mengaku menderita diabetes, stroke ringan, jantung, darah tinggi, hingga ginjal.
BACA JUGA: Maju Depok 1, Kaesang: Kalau di Solo Sudah Pasti Menang
“Sebelum ditahan, diabetes saya berada di stadium empat dan setelah ditahan menjadi stadium lima, saya juga menderita penyakit hepatitis B, darah tinggi, jantung, dan banyak komplikasi penyakit dalam lainnya. Pemeriksaan terakhir dokter RSPAD menyatakan fungsi ginjal saya tinggal 8 persen,” kata dia, melansir IDN.
“Seandainya saya mati, pasti yang membunuh saya adalah KPK dan saya sebagai kepala adat akan menyebabkan rakyat Papua menjadi marah dan kecewa berat terhadap KPK sebagai penyebab kematian saya,” katanya.
Lukas menyebut, ia disangka menerima suap Rp1 miliar tetapi membengkak hingga puluhan miliar rupiah hingga membuat seluruh kekayaannya disita KPK.
“Belum cukup dengan sita uang saya, uang istri dan anak saya pun disita. Padahal dalam BAP saya, telah saya tegaskan bahwa uang Rp1 miliar itu adalah uang pribadi saya, bukan uang suap atau gratifikasi. Hal yang sama di bawah sumpah saya jelaskan ketika menjadi saksi 16 Mei dalam sidang Rijatono Lakka,” ujar Lukas.
Diketahui, Lukas Enembe didakwa korupsi Rp46,8 miliar. Rinciannya sebanyak Rp45,8 miliar berupa suap dan gratifikasi senilai total Rp1 miliar.
Suap itu diduga diterima dari Direktur PT Melonesia Mulia, Piton Enumbi sebanyak Rp10,4 miliar dan Rp35,4 miliar dari Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Rijatono Lakka.
Suap itu diberikan kepada Lukas agar perusahaan milik Piton dan Rijatono dimenangkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2013-2022.
Lukas diduga tidak bermain sendiri. Ada sejumlah pihak yang diduga terlibat seperti Kepala Dinas Perumahan Umum (PU) Provinsi Papua periode 2013-2017, Mikael Kambuaya serta Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Papua periode 2018-2022.
Akibat perbuatannya, Lukas didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Ia juga didakwa melanggar Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(Agung)