BANDUNG,FOKUSJabar.id: Tahun 2022 menjadi tahun yang kurang bersahabat bagi investor crypto. Pasalnya, harga aset crypto menurun hingga lebih dari 70 persen akibat berbagai guncangan yang terjadi.
Beberapa faktor menjadi penyebab menurunnya harga aset kripto seperti Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH). Di antaranya kasus Terra Luna, Three Arrows Capital (3AC), hingga bangkrutnya bursa kripto FTX. Namun dibalik itu semua, melihat besaran return instrumen investasi, pergerakan aset kripto sejalan dengan indeks saham AS dan global selama tahun 2022 dan bahkan lebih baik daripada obligasi AS.
“Peristiwa yang terjadi dimulai sejak pertengahan tahun 2022 menjadi pengalaman berharga bagi semua pihak. Tidak hanya investor, melainkan kami sebagai bursa untuk terus konsisten dalam memberikan keamanan dan kenyamanan berinvestasi,” kata Chief Marketing Officer PINTU Timothius Martin melalui rilis yang diterima FOKUSJabar, Rabu (11/1/2023).
Terlepas dari volatilitas pasar kripto dan volume perdagangan yang rendah, lanjut Timo, dapat dilihat jika adopsi kripto secara institusional meningkat pada tahun 2022. Survei Institutional Investor baru-baru ini pun menunjukkan jika investor masih percaya kripto akan bertahan, terlepas dari volatilitas harga atau peristiwa yang tidak menguntungkan disebabkan oleh beberapa pihak.
“Melihat kejadian di tahun 2022, ketertarikan investor saat ini akan lebih tertuju pada aset kripto yang dinilai lebih berkualitas tinggi seperti Bitcoin dan Ether dan lebih memperhatikan faktor-faktor fundamental seperti tokenomik, kematangan ekosistem masing-masing project, dan likuiditas pasar,” Timo menuturkan.
Di sisi lain, kata Timo, meski harga aset kripto mengalami penurunan, nyatanya adopsi terhadap aset kripto justru terus tumbuh. Bahkan semakin banyak negara-negara di dunia yang meregulasi aset kripto.
“Regulasi kripto merupakan hal yang baik untuk investor dan industri. Hal ini dapat memberikan potensi yang baik untuk melindungi investor jangka panjang, mencegah aktivitas penipuan dalam ekosistem kripto, dan memberikan panduan yang jelas untuk memungkinkan perusahaan berinovasi. Selain itu, kejelasan regulasi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat luas pada kripto,” Timo memaparkan.
BACA JUGA: Pelaku UMKM di Ciamis Dapat Sertifikat Halal
Berdasarkan data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) hingga tahun 2022, jumlah investor kripto telah mencapai 16,55 juta dengan nilai transaksi mencapai Rp296,66 trilyun. Selain itu, dari sisi regulasi terdapat lebih dari 10 negara yang telah meregulasi investasi aset kripto yang berkaitan dengan bursa, pajak, perlindungan konsumen, dan lain sebagainya seperti Afrika Selatan, Inggris, Australia, Ukraina, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Brazil, Itali, Prancis, Kanada, Filipina, Korea Selatan, Turki, Mexico, India, Thailand, Vietnam, Argentina, Iran, dan Indonesia.
“Sektor industri kripto terus tumbuh dan matang sehingga regulator di seluruh dunia perlu memberikan kejelasan serta panduan dalam menyikapi masifnya peningkatan tersebut. Selain itu, regulasi tersebut membantu membangun kepercayaan dan akan mendorong adopsi lebih besar lagi. Di Indonesia sendiri, kami sangat mengapresiasi pemerintah melalui Bappebti, yang kemudian akan dilanjutkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang telah mendukung berkembangnya industri ini. Kami menyambut hal tersebut dengan baik untuk memastikan kemajuan industri kripto di Indonesia,” Timo menuturkan.
Kemajuan industri kripto di Indonesia, lanjut dia, ditandai oleh adopsi teknologi blockchain pada berbagai institusi besar yang tertarik dan sudah mulai berinvestasi ke aset kripto. Beberapa perusahaan sudah memanfaatkan teknologi blockchain diantaranya perusahaan fintech PayPal dan Square, lalu Tesla hingga Bank Indonesia yang beberapa waktu lalu meluncurkan whitepaper Central Bank Digital Currency (CBDC) yaitu Proyek Garuda.
“Arus perhatian yang sangat besar dari berbagai institusi ternama tentunya akan menarik banyak pihak dan semakin mendorong positif pertumbuhan industri kripto dari waktu ke waktu,” Timo menambahkan.
Secara global, kepemilikan aset kripto pun terus meningkat. Triple A sebuah perusahaan blockchain yang berbasis di Singapura mengestimasikan jumlah kepemilikan aset kripto di seluruh dunia mencapai 320 juta users atau rata-rata 4.2 persen dari populasi masyarakat dunia yang mencapai 8 miliar orang.
Sementara Asia menjadi negara dengan kepemilikan aset kripto terbanyak mencapai 130 juta orang. Disusul Afrika dengan 53 juta dan Amerika Utara dengan 51 juta.
“Di balik signifikannya jumlah investor aset kripto di seluruh dunia, jelas tahun 2023 pasti penuh dengan tantangan. Mulai dari kenaikan suku bunga, inflasi, isu resesi, hingga kondisi geopolitik yang masih belum stabil tentu perlu menjadi perhatian khusus bagi investor. Namun aset kripto dan teknologi blockchain terus membentuk ekosistem yang matang meski secara usia masih terbilang baru akan tetapi ribuan inovasi telah lahir dengan use-case yang mampu mendisrupsi berbagai industri seperti non-fungible tokens (NFT), Decentralized Finance (DeFi), hingga Web 3.0 dan memberikan dampak yang positif bagi penggunanya,” Timo menegaskan.
(Ageng)