BANDUNG,FOKUSJabar.id: Pengamat energi dan pertambangan, Kurtubi mengingatkan para pejabat di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia untuk tidak gegabah dalam memberikan persetujuan perubahan kepemilikan saham perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau konsesi.
Sebab, kata Kurtubi, sepanjang menyangkut perubahan kepemilikan atas Konsesi suatu area pertambangan, harus atas persetujuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan IUP.
Pemindahtanganan atau jual beli Konsesi/IUP yang sering kali terjadi dewasa ini merupakan salah satu kelemahan dari Sistem Konsesi (IUP) yang diadopsi pemerintah saat ini, disamping masih banyak kelemahan-kelemahan lainnya seperti pihak/lembaga yang diberi wewenang mengeluarkan konsesi/IUP sering berubah-ubah dari Bupati ke Gubernur kemudian kembali ke Kementerian ESDM.
Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan menyebut dirinya sebagai korban dugaan penyerobotan saham dan pertambangan oleh perusahaan berinsial AMI.
Semua diawali dengan ajakan kerjasama melalui kesepakatan AMI setor modal USD 28,5 juta. Namun, baru setor USD 2 juta pihak mereka sudah mengklaim kepemilikan yang dilanjutkan dengan penyerobotan lahan tambang.
BACA JUGA: Kegiatan Tambang Berhenti, Perekonomian Masyarakat Malili Terganggu
“Setelah mentransfer dana, meski angkanya jauh di bawah kewajiban, mereka bisa mengubah sendiri akta kerjasama, tanpa melalui mekanisme RUPS yang notabene ilegal hingga melakukan penyerobotan lahan,” ungkap Helmut.
Ia menduga mereka memanfaatkan celah dari Sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) Online Kementerian Hukum dan HAM, yang memberi kepercayaan kepada pejabat notaris untuk melakukan eksekusi yang tidak dibenarkan secara hukum. Itu sebabnya, pihaknya meminta perlindungan hukum.
PT CLM dan PT APMR telah menjadi korban pengambilalihan saham secara tidak sah dan melawan hukum oleh PT AMI. Bahkan, pengambilalihan saham tersebut mendapatkan pengakuan/pengesahan dari Ditjen AHU Kemenkum dan HAM, walaupun melanggar UU Minerba No. 3 tahun 2000 dan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Di lapangan terjadi perkembangan lain berupa pengambilalihan secara paksa dan diduga melanggar hukum terhadap berbagai aset dan properti PT CLM di wilayah konsesi pertambangan nikelnya di Kec. Malili, Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Menurut Helmut, mereka mengklaim pengambilalihan itu memiliki landasan hukum berupa akuisisi saham PT CLM yang sudah mendapatkan restu dari pihak pemerintah melalui Ditjen AHU Kemenkum dan HAM. Namun pengesahan ini bertentangan dengan UU Minerba dan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dan kemudian ternyata terbukti bahwa akuisisi saham PT CLM dan PT APMR itu cacat hukum.
Terlepas dari itu, pengamat Energi dan Pertambangan, Dr. Kurtubi mengatak praktik penyerobotan itu dikenal pula dengan pola ‘Hostile Take Over’, yaitu upaya paksa mengambil alih saham perseroan tambang dengan proses hukum yang terlihat seolah-olah legal namun sebetulnya ilegal.
Hostile take over biasanya diawali dengan perjanjian kerja sama atau pembelian saham perseroan resmi yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pelaku praktik ini kemudian mengambil alih paksa saham perusahaan secara murah.
Kurtubi melanjutkan kelemahan lainnya dari sistem konsesi adalah pihak yang diberi wewenang mengeluarkan Konsesi/IUP untuk wilayah pertambangan seringkali saling tumpang tindih karena IUP yang dikeluarkan lebih dari satu.
“Kelemahan lainnya adalah pemegang Konsesi/IUP terlalu mudah untuk memperjualbelikan IUP-nya. Bahkan IUP yang baru diterima dari Bupati/Gubernur/ ESDM, seringkali sudah diperjualbelikan kepada investor yang memang benar-benar punya dana/modal,” tambah Kurtubi.
Menurut Kurtubi, kelemahan fatal dari sistem Konsesi/IUP baik berdasarkan UU Minerba No.4/2009 maupun UU No.3/2020 adalah karena Konsesi/IUP dan juga Kontrak Karya (PKP2B) merupakan sistem tata kelola pertambangan era kolonial yang tidak mencerminkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya mengacu kepada Pasal 33 UUD 45 dimana harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagai pembanding, di Sektor Migas, sejak tahun 1960 berdasarkan UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971, sistem Konsesi/IUP dan Sistem Kontrak Karya (PKP2B), sudah tidak dipakai lagi dan diganti dengan sistem Kontrak Bagi Hasil antara Perusahaan Negara (PN) yang dibentuk dengan UU berkontrak dengan Investor Tambang. Negara memperoleh bagian bagi hasil 65% dan Investor memperolah 35%.
Dengan sistem konsesi, negara tidak dijamin memperoleh penerimaan yang lebih besar dari keuntungan yang diperoleh penambang. Karena di UU Minerba, tidak disebut secara spesifik bahwa kekayaan/asset berupa cadangan minerba yang ada di perut bumi adalah milik negara dan harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Karena itu, Pemegang Konsesi merasa seolah-olah asset/cadangan minerba yang ada di perut bumi merupakan milik mereka. Cukup dengan membawa laporan geoligist tentang perkiraan cadangan minerba yang ada di wilayah konsesinya, lalu dibawa ke bank guna memperoleh pinjaman. Padahal cadangan mineral di perut bumi adalah milik negara dan hanya pemiliknya yang berhak mengagunkan ke bank.
Kurtubi menekankan bahwa semua cadangan migas dan minerba yang ada di perut bumi adalah milik negara dan harus dikuasai oleh negara dengan cara negara membentuk Perusahaan Negara (PN) dengan UU dan PN tersebut diberi wewenang Kuasa Pertambangan. Semua Investor harus berkontrak bagi hasil “B-to-B” dengan Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan ( PNPKP) dengan bagi hasil seperti di migas (65:35).
“Dengan demikian, tidak akan ada lagi jual beli Konsesi (IUP) dan Negara/APBN dipastikan akan memperoleh penerimaan dari SDA yang harus lebih besar dari keuntungan Investor pelaku usaha pertambangan,” pungkas Kurtubi.
BANDUNG,FOKUSJabar.id: Pengamat energi dan pertambangan, Kurtubi mengingatkan para pejabat di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia untuk tidak gegabah dalam memberikan persetujuan perubahan kepemilikan saham perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau konsesi.
Sebab, kata Kurtubi, sepanjang menyangkut perubahan kepemilikan atas Konsesi suatu area pertambangan, harus atas persetujuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan IUP.
Pemindahtanganan atau jual beli Konsesi/IUP yang sering kali terjadi dewasa ini merupakan salah satu kelemahan dari Sistem Konsesi (IUP) yang diadopsi pemerintah saat ini, disamping masih banyak kelemahan-kelemahan lainnya seperti pihak/lembaga yang diberi wewenang mengeluarkan konsesi/IUP sering berubah-ubah dari Bupati ke Gubernur kemudian kembali ke Kementerian ESDM.
Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan menyebut dirinya sebagai korban dugaan penyerobotan saham dan pertambangan oleh perusahaan berinsial AMI.
Semua diawali dengan ajakan kerjasama melalui kesepakatan AMI setor modal USD 28,5 juta. Namun, baru setor USD 2 juta pihak mereka sudah mengklaim kepemilikan yang dilanjutkan dengan penyerobotan lahan tambang.
“Setelah mentransfer dana, meski angkanya jauh di bawah kewajiban, mereka bisa mengubah sendiri akta kerjasama, tanpa melalui mekanisme RUPS yang notabene ilegal hingga melakukan penyerobotan lahan,” ungkap Helmut.
Ia menduga mereka memanfaatkan celah dari Sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) Online Kementerian Hukum dan HAM, yang memberi kepercayaan kepada pejabat notaris untuk melakukan eksekusi yang tidak dibenarkan secara hukum. Itu sebabnya, pihaknya meminta perlindungan hukum.
PT CLM dan PT APMR telah menjadi korban pengambilalihan saham secara tidak sah dan melawan hukum oleh PT AMI. Bahkan, pengambilalihan saham tersebut mendapatkan pengakuan/pengesahan dari Ditjen AHU Kemenkum dan HAM, walaupun melanggar UU Minerba No. 3 tahun 2000 dan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Di lapangan terjadi perkembangan lain berupa pengambilalihan secara paksa dan diduga melanggar hukum terhadap berbagai aset dan properti PT CLM di wilayah konsesi pertambangan nikelnya di Kec. Malili, Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Menurut Helmut, mereka mengklaim pengambilalihan itu memiliki landasan hukum berupa akuisisi saham PT CLM yang sudah mendapatkan restu dari pihak pemerintah melalui Ditjen AHU Kemenkum dan HAM. Namun pengesahan ini bertentangan dengan UU Minerba dan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dan kemudian ternyata terbukti bahwa akuisisi saham PT CLM dan PT APMR itu cacat hukum.
Terlepas dari itu, pengamat Energi dan Pertambangan, Dr. Kurtubi mengatak praktik penyerobotan itu dikenal pula dengan pola ‘Hostile Take Over’, yaitu upaya paksa mengambil alih saham perseroan tambang dengan proses hukum yang terlihat seolah-olah legal namun sebetulnya ilegal.
Hostile take over biasanya diawali dengan perjanjian kerja sama atau pembelian saham perseroan resmi yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pelaku praktik ini kemudian mengambil alih paksa saham perusahaan secara murah.
Kurtubi melanjutkan kelemahan lainnya dari sistem konsesi adalah pihak yang diberi wewenang mengeluarkan Konsesi/IUP untuk wilayah pertambangan seringkali saling tumpang tindih karena IUP yang dikeluarkan lebih dari satu.
“Kelemahan lainnya adalah pemegang Konsesi/IUP terlalu mudah untuk memperjualbelikan IUP-nya. Bahkan IUP yang baru diterima dari Bupati/Gubernur/ ESDM, seringkali sudah diperjualbelikan kepada investor yang memang benar-benar punya dana/modal,” tambah Kurtubi.
Menurut Kurtubi, kelemahan fatal dari sistem Konsesi/IUP baik berdasarkan UU Minerba No.4/2009 maupun UU No.3/2020 adalah karena Konsesi/IUP dan juga Kontrak Karya (PKP2B) merupakan sistem tata kelola pertambangan era kolonial yang tidak mencerminkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya mengacu kepada Pasal 33 UUD 45 dimana harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagai pembanding, di Sektor Migas, sejak tahun 1960 berdasarkan UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971, sistem Konsesi/IUP dan Sistem Kontrak Karya (PKP2B), sudah tidak dipakai lagi dan diganti dengan sistem Kontrak Bagi Hasil antara Perusahaan Negara (PN) yang dibentuk dengan UU berkontrak dengan Investor Tambang. Negara memperoleh bagian bagi hasil 65% dan Investor memperolah 35%.
Dengan sistem konsesi, negara tidak dijamin memperoleh penerimaan yang lebih besar dari keuntungan yang diperoleh penambang. Karena di UU Minerba, tidak disebut secara spesifik bahwa kekayaan/asset berupa cadangan minerba yang ada di perut bumi adalah milik negara dan harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Karena itu, Pemegang Konsesi merasa seolah-olah asset/cadangan minerba yang ada di perut bumi merupakan milik mereka. Cukup dengan membawa laporan geoligist tentang perkiraan cadangan minerba yang ada di wilayah konsesinya, lalu dibawa ke bank guna memperoleh pinjaman. Padahal cadangan mineral di perut bumi adalah milik negara dan hanya pemiliknya yang berhak mengagunkan ke bank.
Kurtubi menekankan bahwa semua cadangan migas dan minerba yang ada di perut bumi adalah milik negara dan harus dikuasai oleh negara dengan cara negara membentuk Perusahaan Negara (PN) dengan UU dan PN tersebut diberi wewenang Kuasa Pertambangan. Semua Investor harus berkontrak bagi hasil “B-to-B” dengan Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan ( PNPKP) dengan bagi hasil seperti di migas (65:35).
“Dengan demikian, tidak akan ada lagi jual beli Konsesi (IUP) dan Negara/APBN dipastikan akan memperoleh penerimaan dari SDA yang harus lebih besar dari keuntungan Investor pelaku usaha pertambangan,” pungkas Kurtubi.
(Anthika)