SULAWESI,FOKUSJabar.id: Kegiatan tambang yang dilakukan PT Citra Lampia Mandiri (CLM) berhenti. Hal itu berdampak pada perekonomian masyarakat di sekitar lokasi tambang di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan
.
Kepala Teknik Tambang manajemen PT CLM, Achmad Sobri mengatakan, hal itu terjadi menyusul dugaan pengambilalihan paksa pihak yang mengatasnamakan jajaran manajemen PT CLM yang baru.
Sebelum kegiatan pertambangan terhenti pada tanggal 7 November 2022, pihaknya mengeluarkan biaya (operating cost) sebesar Rp 40 miliar.
BACA JUGA: DPR Sahkan Yudo Margono Jadi Panglima TNI
Angka itu digunakan untuk membayar berbagai kebutuhan barang dan jasa mulai dari kebutuhan logistik (makanan dan minuman), pengadaan komponen (spare part), sewa alat berat dan peralatan tambang lainnya, biaya energi (solar), sewa tempat tinggal karyawan, sewa kendaraan angkutan karyawan, sewa tongkang hingga uang saku untuk siswa-siswi PKL dan mahasiswa magang.
Berbagai kebutuhan barang dan jasa tersebut hampir seluruhnya disediakan oleh perusahaan dan masyarakat lokal di sekitar lokasi pertambangan di Malili.
Sebagian besar (hampir seluruh) biaya operating cost tersebut didistribusikan kepada tiga kontraktor utama yang semuanya merupakan perusahaan lokal. Ketiga perusahaan kontraktor itu mempekerjakan tenaga kerja lokal yang 99% berasal dari 3-5 desa di Kecamatan Malili.
Jumlah total tenaga kerja di tiga perusahaan kontraktor itu mencapai 900 orang sehingga dengan asumsi masing-masing pekerja memiliki satu istri dan dua anak maka jumlah penduduk Malili yang secara langsung penghidupannya bergantung kepada usaha pertambangan PT CLM mencapai 3.600 orang.
“Kini, perputaran ekonomi yang selama ini dirasakan masyarakat Malili sudah tidak ada lagi,” tegas Sobri.
Pengeluaran biaya operasional bulanan perusahaan sebelum penghentian kegiatan tambang nikel PT CLM di Malili sebagian besar (80%) memang untuk sewa alat dan pengadaan spare part, yaitu sekitar 50% atau Rp 20 miliar untuk membayar sewa alat berat dan alat pertambangan lainnya dan 30% (sekitar Rp 12 miliar) untuk membeli spare part.
Selebihnya untuk pembelian bahan bakar solar (sekitar 1 juta liter per bulan senilai Rp 6,8 miliar), pengadaan logistik makanan/minuman senilai Rp 350 juta per bulan yang bekerjasama dengan BUMDES setempat, sewa tempat tinggal karyawan (khususnya untuk karyawan nonlokal), sewa kendaraan angkutan karyawan CLM dan kontraktor (Rp 750 juta per bulan), dan untuk uang saku siswa PKL dan mahasiswa magang (Rp 20 juta per bulan).
Biaya sebesar itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendanai kegiatan Rencana Umum Pemberdayaan Masyarakat (RUPM) yang dulu dikenal dengan sebutan Corporate Social Responsibility (CSR) yang mencapai Rp 5 miliar per tahun.
Dana sebesar itu digunakan antara lain untuk membiaya kegiatan Jumat Berkah, bedah rumah penduduk sekitar lokasi tambang, pembangunan rumah ibadah dan lain-lain.
Di luar dana-dana tersebut perusahaam (PT CLM) masih memberikan kontribusi pemasukan bagi negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bentuk royalti yang pada tahun 2022 ini hingga akhir Oktober 2022 sudah mencapai Rp 176 miliar.
“Semua dana tersebut, baik yang dikeluarkan sebagai biaya operasional perusahaan, dana RUPM maupun PNBP kini otomatis tidak ada lagi pasca berhentinya kegiatan pertambangan nikel PT CLM,” kata Sobri menegaskan.
Diketahui, PT CLM adalah sebuah perusahaan dalam negeri yang berdiri sejak tahun 2007 dan bergerak di sektor pertambangan nikel laterit dmp dan merupakan perusahaan tambang dengan izin usaha penambangan (IUP) produksi nickel ore terbesar di Sulawesi Selatan sekitar 250 ribu MT per bulannya.
(Agung)