Kamis 12 Desember 2024

Gastronomi Bisa Tekan Inflasi

gastronomi

BANDUNG,FOKUSJabar.id: Gastronomi Bisa Tekan Inflasi, Krisis pangan menjadi ancaman nyata setelah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi 30 persen wilayah Indonesia akan mengalami kekeringan. Food and Agriculture Organization (FAO) atau Badan Pangan Dunia juga memperingatkan negara-negara di dunia akan terjadinya krisis pangan akibat perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan.

Dampak dari ancaman tersebut sudah terasa. Banyak negara yang mendahulukan pemenuhan kebutuhan pangan warganya dibandingkan melakukan ekspor. Padahal, Indonesia masih mengimpor beberapa komoditas yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti Bawang Putih 100 persen impor, kedelai 97 persen impor, Gula 70 persen impor, dan daging lebih dari 50 persennya impor.

Tak heran saat terjadi kelangkaan, inflasi melonjak. Sebab, pangan dan turunannya menjadi komponen penyumbang terbesar dalam penghitungan indek harga konsumen. Hingga bulan Oktober, laju inflasi tahunan sudah menembus 5,71 persen. Padahal, dalam APBN 2022, laju inflasi diperkirakan 3,5 persen hingga 4,5 persen.

BACA JUGA: Pertanian Program Utama Pengendalian Inflasi Jabar

Semakin tinggi inflasi tentu semakin memberatkan masyarakat. Namun sebetulnya, masyarakat pun bisa berperan dalam pengendalian inflasi. “Caranya dengan mencari jenis komoditas pangan dan energi dari lingkungan sekitar untuk menggantikan konsumsi baik pangan atau energi,” ujar pengamat ekonomi perdagangan internasional dari Unpad, Yayan Satyakti.

Sebab, jelas Yayan, inflasi berhubungan dengan supply and demand. Semakin banyak supply maka harga akan turun pada mekanisme pasar. Untuk itu, pemerintah harus memberikan peluang terhadap masyarakat untuk mengganti supply yang telah ada dengan komoditas lain yang lebih baik dan berkualitas serta akses yang lebih dekat.

“Misalnya untuk memperoleh pasokan makanan, masyarakat tidak harus pergi jauh tetapi berada di tempat sekitar sehingga mengurangi biaya transportasi. Ini akan membuat barang menjadi lebih murah serta meningkatkan kebutuhan lokal. Efeknya, masyarakat sekitar memperoleh pendapatan karena komoditasnya mendapat pasar yang baik,” tutur pria yang aktif sebagai konsultan internasional ini.

Yayan juga menyarankan supaya masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya sendiri atau komunal. “Misal untuk pangan, menanam tanaman untuk kebutuhan sendiri dengan cara hidroponik atau kebun kota. Atau membuat komunitas pasar komoditas berupa pasar lingkup terkecil,” katanya.

Ia menyarankan supaya gerakan gastronomi bisa dihidupkan kembali. Gastronomi ini hubungan antara budaya dan makanan. Budaya berdampak pada jenis makanan dan tipologi makanan. Benang merah dari Gastronomi ini yaitu meningkatkan literasi budaya makanan untuk meningkatkan substitusi makanan maupun rantai pasoknya agar makanan dan sumber daya lokal menjadi pasar yang diterima oleh masyarakat.

Pegiat gastronomi dari Politeknik Pariwisata NHI Bandung, Darwis Triadi. Menurutnya, substitusi bahan pangan impor sebenarnya sudah tersebar di Indonesia, terlebih lagi di Jawa Barat. Penulis empat buku khazanah kuliner ini mengungkapkan adanya beberapa makanan lokal yang masih memakai bahan baku impor seperti tahu, tempe, dan kecap. Saat negara pengimpor menahan penjualannya, masyarakat kesulitan mencari tahu dan tempe.

“Tempe misalnya yang selalu menggunakan kedelai putih impor. Sebenarnya sangat bisa diganti dengan bahan polong-polongan lainnya. Demikian juga dengan bahan pangan lainnya. Kita memiliki semuanya bahan substitusi tersebut dengan kualitas gizi yang baik,” jelas  Darwis.

Ia menyarankan supaya masyarakat kembali pada makanan lokal. Sebab, makanan lokal merupakan penciri identitas secara geografis dan habitat yang sesuai bagi seluruh makhluk yang ada di sekelilingnya. Tuhan sangat mengetahui kebutuhan yang terbaik untuk ketahanan dan kelangsungan ciptaannya di muka bumi.

“Contohnya saja spesies lalap. Saya meneliti ada 718 spesies lalap. Sedangkan untuk rujak ada 362 jenis. Untuk varietas padi juga banyak. Ragam varietas padi buhun mencapai 250-an jenis. Dua per tiga kategori padi huma. Sepertiganya kategori padi sawah. Begitupun umbi-umbian sumber karbohidrat sangat banyak variannya. Jadi, bila melihat keragaman tersebut, masyarakat Sunda tidak pernah khawatir. Para karuhun senantiasa menyesuaikan dalam pengonsumsiannya,” ujar  pria kelahiran Cirebon ini.

Diakuinya, untuk memasyarakatkan kembali makanan lokal, perlu perjuangan keras karena mulai tergerus seiring gencarnya invasi budaya melalui teknologi informasi terutama di wilayah perkotaan. Di pedesaan memang masih tertahan karena melibatkan aspek budaya sebagai pengerat komitmen mereka terhadap warisan leluhurnya.

“Lakukan inovasi produk dengan semua bahan baku lokal sebagai substitusi. Penampilan sajian dan kemasan harus kekinian. Lakukan edukasi melalui literasi, media sosial, pameran-pameran, perlombaan-perlombaan, serta regulasi yang berpihak bagi para petani agar berdaya,” tambahnya memberikan cara memasyarakatkan kembali makanan lokal kepada generasi milenial.

Pegiat budaya, Aat Suratin setuju dengan pendapat Darwis. Menurutnya, bahan pangan lokal bisa menjadi substitusi bahan pangan impor. Kuncinya adalah kemauan pemerintah dan masyarakat untuk menggunakan bahan pangan lokal. “Bahan pangan lokal sangat banyak dan bisa jadi pengganti bahan pangan impor. Dari sisi gizi juga bisa diadu.

gastronomi

“Bahkan mungkin berani di adu kualitas gizinya. Sebab, Tuhan memberikan manusia berdasarkan lokalitas. Kebayang enggak, lokalitas kita beragam. Dulu, orang timur seperti Papua dan Maluku, makanan pokoknya sagu. Madura makanan pokoknya jagung. Pulau Jawa makanannya nasi. Melalui gastronomi, kita menganekaragamkan kembali makanan-makanan berdasarkan lokalitasnya. Sebab gizinya sebanding dengan nasi,” jelas Aat.

Menurutnya, nasi, sagu, jagung, atau singkong kalau diolah akan jadi makanan enak dan bisa menjadi panganan lokal.” Kalau ini dilakukan, akan bisa mengendalikan inflasi karena mengurangi ketergantungan impor, bahan baku banyak di masyarakat dan dekat sehingga mudah didapatkannya,” tuturnya.

BACA JUGA: Maintenance Mode Samsung, Fitur Baru untuk Amankan Informasi Pribadi

Keanekaragaman bahan makanan ini juga menjadi sorotan praktisi komunikasi Eric Wiradipoetra yang intens menggarap gastronomi dalam video-videonya. Ia mengungkapkan pentingnya penganekaragaman bahan baku untuk pembuatan tempe. Ia menjelaskan, tempe adalah proses fermentasi dari jamur terhadap biji-bijian, bukan hanya kedelai.

“Zaman dulu bahan baku tempe adalah kedelai lokal. Karena itu tempe disebut produk asli Indonesia karena prosesnya itu dilakukan oleh asli orang Indonesia. Tempe itu bukan kedelai tapi bisa juga kacang hitam, bisa juga kacang yang lain. Sekarang tempe justru hanya kedelai. Aspek gastronomi ini harus kita kuatkan dari sisi komunikasi agar masyarakat tidak tergantung pada satu bahan baku saja,” jelas Eric.

Menurutnya, gastronomi bisa menyisir persoalan-persoalan dan menemukan masalah serta solusinya. “Selain menelusuri asal-usul kuliner atau pangan, kita akan menemukan sumber-sumber persoalan dan menemukan juga potensi-potensi solusinya yang sangat mendasar,” ujar Wakil Ketua Divisi Komunikasi dan Gerakan Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Jabar ini.

 

Berita Terbaru

spot_img