JAKARTA,FOKUSJabar.id: Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Budi Santoso mengatakan, pengurangan karyawan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak bisa dihindari.
Hal itu ia sampaikan melihat situasi industri padat karya di dalam negeri saat ini sudah kesulitan bernafas.
“Per akhir Oktober 2022 sudah ada 79.316 orang dari 127 perusahaan. Sifatnya ada yang memang PHK, ada yang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak diteruskan. Ada juga yang memang karena pabrik pada akhirnya tutup produksi,” kata Aloysius, Jumat (4/11/2022).
BACA JUGA: Rokok Jadi Konsumsi Terbesar Kedua Warga Miskin, Apa Iya?
“Industri padat karya itu profitnya kini tinggal 2-3%. Kalau permintaan turun sampai 50%, langsung nge-crash itu antara biaya sama revenue, langsung kepotong,” tambahnya, seperti dilansir CNBC.
Sebaliknya, kata dia, berbeda dengan perusahaan yang masih bisa menikmati profit 10-20%.
“Mungkin masih bisa nafas kalau perusahaan yang profitnya masih 10-20%. Tapi, kalau sudah di bawah 5% itu, efisiensi apa pun pasti nggak bisa tanpa mengurangi sumber daya manusianya,” kata Aloysius.
“Saya selalu bilang, seperti periuk nasi. Kalau nggak ada nasinya siapa mau dikasih makan? Semua nggak dapat makan,” ujarnya.
Dia menjabarkan, industri padat karya dihadapkan tantangan lonjakan biaya-biaya. Akibatnya, kata dia, tak mengejutkan jika perusahaan kemudian memilih menjadi importir untuk dijual kembali di pasar dalam negeri.
“Sekarang itu lebih murah impor, lalu dijual di dalam negeri. Daripada menjadi produsen atau membangun manufaktur. Industri padat karya menghadapi kompetisi dalam semua hal. Mulai dari regulasi, iklim, dan seterusnya,” kata dia.
Bahkan, tukas dia, menjadi importir lebih mudah ketika terjadi masalah atau tekanan seperti saat ini.
“Jangan dikira tutup pabrik itu tidak gampang. Jangan dibayangkan sederhana. Setengah mati loh, dengan biaya dan tanggung jawab hutang bank dan sebagainya,” tambah Aloysius.
Karena itu, ujarnya, dibutuhkan langkah bersama untuk menghindari gelombang PHK yang semakin luas akibat permintaan pasar ekspor yang kian drastis.
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mengusulkan, pemerintah segera meluncurkan blended policy.
“Pengusaha menyebutkan gelombang PHK yang terjadi bukan karena keinginan sepihak. Tapi karena ada faktor eksternal. Untuk itu, dibutuhkan blended policy, kebijakan untuk mengatasi supaya pengangguran tidak bertambah luas,” ujarnya.
“Misalnya, relaksasi yang berpihak pada kesejahteraan PHK yang di-PHK. Misalnya, ada bahan baku impor, dibantu dari segi pajak sehingga bisa mengurangi biaya produksi. Atau, dibuat klasifikasi, misalnya untuk industri padat karya diberi insentif sehingga bisa menahan gelombang PHK,” tambah Netty.
(Agung)