JAKARTA,FOKUSjabar.id: Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyatakan ribuan buruh bakal dilibatkan dalam aksi yang digelar di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Rabu (12/10/2022).
Dia mengatakan, demonstrasi penolakan terhadap kenaikan harga BBM itu digelar mulai pukul 10.15 WIB.
“Melibatkan puluhan ribu buruh pada tanggal 12 Oktober jam 10.15 WIB di Istana Negara,” kata Said, Selasa (11/10/2022).
BACA JUGA: Jokowi Harap Presiden Setelahnya Tak Ekspor Bahan Mentah
Presiden Partai Buruh ini mengatakan, selain dihadiri sejumlah organisasi serikat buruh, aksi tersebut juga dihadiri oleh serikat profesi lainnya. Mulai dari ojek online (ojol), nelayan, petani, hingga guru.
“Aksi partai buruh dan organisasi serikat buruh, petani, nelayan, guru, perempuan, UPC, PRT, ojol, buruh migran, guru honorer, dan lain-lain,” kata dia, seperti dilansir IDN.
“Pertama, menolak kenaikan harga BBM, karena terbukti menurunkan daya beli kaum buruh dan masyarakat kecil. Harga bahan pokok melambung. Harga beras naik, di tengah ancaman upah yang akan kembali tidak naik, karena masih menggunakan PP 36/2021,” katanya.
“Inflasi yang terasa bagi kaum buruh adalah tiga komponen. Pertama, kelompok makanan, inflasinya tembus 5 persen. Kedua, transportasi naik 20-25 persen dan ketiga adalah kelompok rumah, yakni sewa rumah naik 10-12,5 persen,” tambahnya.
Menurut Said, inflasi di tiga kelompok ini memberatkan daya beli buruh dan masyarakat kecil akibat kenaikan harga BBM.
Tuntutan kedua, buruh menolak pembahasan omnibus law UU Cipta Kerja. Pihaknya menilai, sejak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatakan Omnibus Law inkonstitusional bersyarat dan cacat formil, terbukti tidak ada investasi masuk.
Bahkan, kata Said, berulang kali Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan, akan ada investasi yang masuk tetapi nyatanya hanya sebatas komitmen dan janji belaka.
“Pemerintah selalu mengatakan akan masuk sekian triliun. Nyatanya tidak ada. Omnibus Law bukan alat untuk menarik investasi, apalagi di tengah ancaman resesi global,” ujar dia.
Said menegaskan, Partai Buruh dan organsiasi serikat buruh menolak keras membahasan kembali UU Cipta Kerja.
“Bagaimana bisa negara melegalkan outsourcing seumur hidup, dikontrak berulang-ulang tanpa periode kontrak, perempuan tidak ada kejelasan mendapat upah ketika cuti haid dan melahirkan, 10 tahun ke depan upah tidak naik meskipun inflasi tinggi, bank tanah yang hanya menguntungkan korporasi dan semakin menjauhkan dari reforma agraria,” tutur dia.
Adapun tuntutan ketiga, menuntut kenaikan upah minimum 2023 sebesar 13 persen. Menurut Iqbal, sebelum kenaikan BBM, inflasi diperkirakan 4,9 persen.
Menurut dia, setelah kenaikan BBM, berdasarkan litbang Partai Buruh, inflasi diperkirakan akan tembus 7 sampai 8 persen, sedangkan pemerintah menyatakan bahwa inflasi berkisar 6,5 sampai 7 persen.
“Ambil angka 7 persen dan pertumbuhan ekonomi katakanlah 4,8 persen. Jika inflasi dan pertumbuhan ekonomi dijumlah, totalnya 11,8 persen. Ini yang seharusnya menjadi dasar kenaikan upah. Pembulatan yang diminta adalah kenaikan upah 13 persen,” ujar Said.
Kenaikan upah ini sudah diperhitungkan untuk menutup kenaikan inflasi pada kelompok makanan, perumahan, dan transportasi yang naik tinggi.
Keempat, menolak keras kebijakan PHK besar-besaran di tengah ancaman resesi dunia pada 2023.
Menurut Said, seluruh dunia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda resesi. Di beberapa negara Eropa buruh melakukan demonstrasi karena harga-harga, inflasi, energi, dan pangan melambung tinggi yang berakhir dengan PHK besar-besaran.
Partai Buruh juga mengecam keras cara pemerintah menebar rasa takut kepada kaum buruh.
“Para menteri yang menyatakan ancaman di depan mata adalah provokatif dan menimbulkan monster ketakutan bagi kaum buruh dengan momok monster PHK. Oleh karena itu, Partai mengecam keras kalimat yang pesimis yang bertentangan dengan sikap Presiden Jokowi yang menyuarakan optimisme,” ucap dia.
(Agung)