spot_img
Sabtu 11 Mei 2024
spot_img
More

    Terseok Era Digital, Pelestari Benjang dan Reak Ini Tetap Bertahan

    BANDUNG,FOKUSJabar.id: Pelestari Kesenian Benjang dan Reak Aceng Muslimin tetap bertahan di tengah zaman serba digital.

    Meski cukup kesulitan mempertahankan eksistensi seni yang dibawanya, Muslimin konsisten memelihara warisan budaya nenek moyang itu.

    Cucu dari salah seorang pelestari kesenian Benjang Abah Sumarta itu terus menyelaraskan seni Benjang dengan pelbagai kesenian lainnya agar tetap eksis.

    “Selain agar tetap eksis dan terpelihara, saya memadukan kesenian Benjang dengan Reak, termasuk kuda lumping untuk memenuhi keinginan penikmat seni di lingkungan sekitar. Apalagi saat ini hanya diundang untuk acara hajatan, seperti khitanan atau pelengkap pesta pernikahan,” kata Muslimin di Cikoneng, Cibiru Wetan, Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu.

    Reak
    Sejumlah mahasiswa Pasca UIN bersama pelestari Benjang Helaran saat melakukan mini riset (LIN)

    Untuk diketahui, Ketua lingkung seni Gelar Putra Pusaka Wangi itu mulai mengenal seni Benjang sejak tahun 70 dari kakeknya dan baru berani membuat komunitas seni pada 2013.

    “Dulu itu seni Benjang digunakan untuk acara syukuran, 40 harian, hingga panen raya. Untuk syukuran itu ada Benjang Rebana yang isinya Solawatan, ada juga Benjang Gulat (olahraga),” kata dia.

    Di tengah zaman yang berbeda, Muslimin optimistis kesenian Benjang, maupun Reak tidak akan punah selama regenerasi terus dilakukan.

    “Alhamdulillah banyak juga kaum muda yang tertarik mempelajarinya, namun karena manajerial yang belum bagus, banyak juga dari mereka malam membuat lingkung Seni dan menjadi pesaing,” kata dia.

    Kendati begitu, pihaknya bersyukur masih banyak generasi saat ini yang mau melestarikan budaya warisan nenek moyang itu.

    Dia berharap, kesenian ini terus lestari terlebih dengan kemajuan teknologi digital yang memudahkan promosi.

    Reak
    Lingkung Seni Benjang Pimpinan Muslimin (tangkapan Layar)

    Sanggar Seni

    Di sisi lain, Muslimin memerlukan sanggar seni untuk mewadahi antusias generasi muda yang ingin mempelajari kesenian ini.

    Melalui sanggar itu, kata dia, semua bisa dipelajari dengan terjadwal, sehingga kesenian yang digelutinya bisa lebih tertata dan dikenal banyak orang.

    “Kalau ada sanggar, kita bisa mengatur segalanya, termasuk menaikan pamor kesenian Benjang, dan Reak ini. Sehingga dengan sendirinya naik kelas dan menjadi kesenian yang diperhitungkan,” kata dia.

    Untuk menunjang eksistensi lingkung seni tersebut, Muslimin tidak mengabaikan regulasi yang ditentukan pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan kelengkapan izin hingga kelengkapan administrasi lainnya.

    “Kami berharap ada perhatian dari pemerintah untuk melestarikan sekaligus mempromosikan kesenian ini agar dikenal lebih luas lagi,” kata Muslimin.

    Sejarah Benjang dan Reak

    Benjang
    Ini adalah jenis kesenian tradisional Indonesia yang memadukan seni dan beladiri yang berkembang di Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung.

    Melansir Wikipedia, Benjang sudah berkembang sejak akhir abad 19. Kesenian ini hampir mengarah ke permainan gulat, bedanya beladiri ini diiringi lagu yang cukup berperan dalam menampilkan seni Benjang.

    Reak

    Ini adalah kesenian masyarakat Sunda yang menitik beratkan pada seni musik dan seni tari kuda lumping serta singa barong dengan penutup karung goni.

    Melansir berbagai sumber, meski terdapat dua versi seni Reak di Jawa Barat, namun secara keseluruhan masih berkaitan dengan barong asal Ponorogo Jatim (Reog Ponorogo).

    Versi Pajajaran

    Pada versi ini disebutkan bahwa Reak adalah tiruan dari sindiran yang dibuat Ki Ageng Surya Alam kepada Raja Majapahit berupa barongan hingga mengakibatkan perang.

    Sebab, kabar sindiran itu terdengar ke seluruh Nusantara, termasuk Pajajaran pada abad 15 yang kini dikenal dengan reog.

    Kerajaan Pajajaran yang pernah mengalami tragedi Majapahit pun membuat sindiran serupa yang dimainkan di istana Pajajaran.

    Versi Cirebonan

    Pada versi ini, seni Reak dibawa oleh orang-orang Ponorogo pada abad 16-17.

    Ada juga yang menyebutkan kata Reak berasal dari seni Reog, namun dalam vokal orang Sunda yang lebih ke ‘A’ menjadikan penyebutan Reog menjadi Reag atau Reak.

    Ada juga yang menyebutkan Seni Reak sebagai makna filosofi Reog Ponorogo yang disusun Pemerintah Kabupaten Ponorogo tahun 90 an bahwa reog berasal dari kaya riyaqun bahasa Arab yang berarti Husnul Khatimah.

    Adapula yang menyebutkan kata Reak berasal dari eak-eakan bahasa Sunda (saling sahut pemain kesenian supaya ramai).

    Singa Barong atau singa lodra yang merupakan tokoh dari seni reak dari kerajaan lodaya memengaruhi nama-nama setiap grup seni reak dengan nama Lodaya maupun Lodra.

    (Ayu, Asep, Ilyas/LIN)

    Berita Terbaru

    spot_img