spot_img
Selasa 1 Juli 2025
spot_imgspot_img

Guru Besar UGM: Ganja Medis Bukan Satu-satunya Obat Atasi Kejang

JAKARTA,FOKUSJabar.id: Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati menyatakan, penolaknya terhadap upaya legalisasi ganja medis di Indonesia.

Zullies mengatakan, ganja yang digunakan dalam bentuk belum murni seperti simplisia atau bagian utuh dari ganja masih mengandung senyawa utama tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.

Artinya, kata dia, bisa memengaruhi kondisi psikis pengguna dan menyebabkan ketergantungan serta berdampak pada mental.

“Ganja sebagai tanaman dan bagian-bagiannya mestinya tetap tidak bisa dilegalisasi untuk ditanam dan diperjualbelikan karena masuk dalam narkotika golongan 1,” kata Zullies dalam webinar bertajuk Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis dikutip laman UGM, Kamis (7//7/2022).

Zullies menyebut, yang dapat dilegalkan atau diatur adalah senyawa turunan ganja seperti cannabidiol yang tidak memiliki aktivitas psikoaktif.

Senyawa ini dapat digunakan sebagai obat dan bisa masuk dalam narkotika golongan 2 atau 3.

DIa mencontohkan pada penggunaan ganja medis dari obat-obatan golongan morfin. Morfin berasal dari tanaman opium yang menjadi obat legal selama melalui resep dokter.

BACA JUGA: Mulai Dari Tikus dan Paus, Berikut Bangkai Hewan Yang Harus Dijauhi Manusia

Biasanya digunakan dalam pengobatan nyeri kanker yang sudah tidak merespons lagi terhadap obat analgesic lainnya.

“Namun begitu, opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar. Demikian halnya dengan tanaman ganja,” kata dia.

Sementara itu, senyawa ganja lainnya yakni cannabidiol (CBD) yang memiliki efek anti kejang, tetapi tidak bersifat psikoaktif.

Meski demikian, Zullies menekankan ganja medis bukanlah menjadi obat satu-satunya yang bisa mengatasi kejang pada tubuh seseorang.

Oleh sebab itu, juli menyatakan ganja medis disarankan sebagai obat alternatif atau bukan obat utama apabila obat lain sudah tidak berefek bagi pasien.

“Jadi saya pribadi Say No untuk legalisasi ganja walau dengan alasan memiliki tujuan medis. Komponen ganja yang bersifat obat seperti cannabidiol bisa digunakan sebagai obat, namun jadi alternatif terakhir,” katanya, seperti dilansir IDN.

Proses legalisasi menjadi obat, lanjutnya, harus dilakukan mengikuti kaidah pengembangan obat. Legalisasi harus didukung dengan adanya data-data uji klinis terkait, dalam bentuk obat yang terukur dosisnya, serta didaftarkan ke BPOM.

“Untuk ganja tidak bisa menggunakan regulasi seperti obat herbal lainnya yang tidak mengandung senyawa psikoaktif,” ujar dia.

Lebih lanjut Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini mengatakan ke depan diperlukan koordinasi semua pihak terkait untuk membuat regulasi dalam pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja seperti cannabidiol dengan mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.

“Riset-riset ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan dengan tetap membatasi akses guna menghindari penyalahgunaan,” ujarnya.

(Agung)

spot_img

Berita Terbaru