KUNINGAN,FOKUSJabar.id: Sepuluh hari berlalu pasca kepergian pelestari tradisi kearifan lokal, Nawita pemandu atau Punduh lagu Cingcowong.
Kepergian Nawita, membuat sedih sejarawan, budayawan dan seniman kuningan. Salah satunya Sejarawan Muda, Tendy merupakan alumnus ILC Programme Victoria University Of Wellington New Zealand dan Kandidat Doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Indonesia.
Tendy mengungkapkan kehilangannya dengan menyebut almarhumah Nawita sebagai pelestari tradisi wariasan leluhur dan merupakan satu – satunya Punduh yang masih ada dan bisa diajak bicara.
“Sekira tahun 2013 – 2014 yang lalu, saya meneliti tentang sisi kesejarahan ritual Cingcowong. Dari Jakarta, saya meluncur ke Luragung dan bertemu Mak Nawita. Beliau lah punduh satu-satunya yang waktu itu ada dan bisa diajak bicara,” ujar Tendy yang juga Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah, Kamis (3/2/2022).
BACA JUGA: PT Jasa Sarana Akselerasi Pembangunan Tiga Mega Proyek Di Jabar
Tendy menuturkan pertemuan tersebut, bisa diketahui tradisi Cingcowong banyak dipengaruhi budaya Jawa.
“Mengingatkan saya tentang Jawanisasi yang kuat terjadi, sejak masa ekspansionis Mataram di era Sultan Agung hingga penguasaan Gebang di bawah Pangeran Sutajaya,” kata dia.
Mantra yang dikomat-kamitkan dalam ritual Cingcowong, sambung Tendy, mengandung informasi difusi linguistik, yang menjelaskan unsur atau pengaruh kultur Jawa yang kental. ” Belum lagi, fakta historis bahwa kekuasaan Jawa pernah bertahta di tanah Sunda, turut memperkokoh pendapat itu, ” jelasnya.
“Bidadari lagi teka. Jak rujak ranti, kami junjang kami loko, Pajulo-julo, temu bumiring mandiloko,” tiru Tendy, saat menyebutkan mantra yang mengandung kultur Jawa.
Usai menuturkan mantra Tendy, mengungkapan pesan dari Almarhumah Nawita, agar ritual Cingcowong tak sampai hilang.
“Sudah terlalu banyak adat kita yang telah musnah, dan yang masih ada harus kita jaga kelestariannya, begitu pesan yang disampaikan beliau,” kata dia.
Perlu diketahui, ritual Cingcowong sendiri, merupakan tradisi yang banyak dipengaruhi oleh budaya suku Jawa. Tradisi Cingcowong sendiri berasal dari Desa Luragung yang biasa dilakukan untuk ritual pemanggil hujan.
Dikutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, kisah dibalik tradisi Cingcowong bermula saat seorang tokoh wanita di Desa Luragung, Kuningan, Jawa Barat, bernama Rantasih mengajak masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang ketika musim musim kemarau berkepanjangan melanda, namun gagal.
Kemudian Rantasih pun melakukan mengumpulkan masyarakat melalui alat musik tabuh tradisional sunda ‘Ceneng’ dan menyampaikan petunjuk yang datang saat tirakat, yakni dengan berpuasa selama tiga hari tiga malam, dengan cara meminta hujan melalui media ritual Cingcowong.
Dalam pelaksanaannya ritual Cingcowong menggunakan boneka berwarna putih dengan kepalanya dari batok kelapa, seperti Jaelangkung, dan terbuat susunan bambu dan batok kelapa.
Boneka tersebut dandani seperti perempuan cantik, termasuk dengan aksesoris kalung yang terbuat dari bunga melati.
Peralatan pendukung lainnya yakni tangga bambu, tikar, sesajen yang terdiri dari menyan, kaca, sisir, dan ember.
Kemudian tikar tersebut dipegang oleh dua orang , saat boneka digerakkan dua orang penabuh buyung yang dipukul oleh kipas, dan satu orangnya lagi memainkan alat musik ceneng yang terbuat dari bahan kuningan.
BACA JUGA: Cara Bikin Konten Viral dengan Smartphone Sejutaan ala Yoga Arizona
Punduh pun membawa boneka cantik tersebut untuk diajak melangkah diatas tangga bambu sebanyak tiga kali, dan ditahap inti boneka tersebut dipangku serta dirasuki lelembut sambil didoakan dan dinyanyikan lagu Cingcowong:
Cingcowong-cingcowong
Bil guna bil lembayu
Shalala lala lenggut
Lenggute anggedani
Aya panganten anyar
Aya panganten anyar
Lili lili pring
Denok simpring ngaliro
Mas borojol gedog
Mas borojol gedog
Lilir guling gulinge sukma katon
Gelang-gelang layone
Layoni putra maukung
Maukung mangundang dewa
Anging Dewa anging sukma
Bidadari lagi teka
Bidadari lagi teka
Jak rujak ranti
Kami junjang kami loko
Pajulo-julo
temu bumiring mandiloko
Huja….. Hujan…..Hujan……
(Andini/Anthika Asmara)