BANDUNG,FOKUSJabar.id: Koin Cryptocurrency atau kripto yang berkapitalisasi pasar besar (big cap) salahsatunya bitcoin anjlok pada perdagangan Kamis (6/1/2022) pagi hari waktu Indonesia.
Hal itu terjadi lantaran investor merespons negatif dari potensi dipercepatnya kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS).
CoinMarketCap mencatat per pukul 10:00 WIB, kesepuluh kripto big cap terkoreksi di kisaran 6% hingga 10% pada hari ini.
BACA JUGA: Bandar Bitcoin Terungkap, Bisa Mainkan Harga Kripto?
Bitcoin ambruk 6,4% ke level harga US$ 43.371,89/koin atau setara dengan Rp 624.555.216/koin (asumsi kurs hari ini Rp 14.400/US$), Ethereum ambles 7,6% ke level US$ 3.518,53/koin atau Rp 50.666.832/koin, Binance Coin ambrol 8,63% ke US$ 468,13/koin (Rp 6.741.072/koin).
Sedangkan untuk Solana anjlok 10% ke US$ 151,65/koin (Rp 2.183.760/koin), Terra tergelincir 9,82% ke US$ 76,77/koin (Rp 1.105.488/koin), dan Polkadot longsor 10,28% ke US$ 26,31/koin (Rp 378.864/koin).
Bitcoin dan kripto big cap merosot ke zona merah setelah sempat pulih pada perdagangan Rabu kemarin waktu Indonesia.
Penurunan harga aset kripto tersebut juga terjadi mengikuti anjloknya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street, setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) merilis notula rapat The Fed yang memutuskan siap menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan akibat lonjakan inflasi.
Ketua The Fed, Jerome ‘Jay’ Powell dan para koleganya menyebut pasar tenaga kerja sudah sangat ketat dan inflasi terus meninggi. Hal ini membuat The Fed sepertinya harus menaikkan suku bunga acuan lebih cepat.
“Para peserta rapat secara umum mencatat bahwa tidak bisa menghindari kenaikan suku bunga acuan lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta rapat juga mencatat sudah saatnya mengurangi beban neraca (balance sheet) setelah kenaikan Federal Funds Rate,” kata notula itu, Dalam rapat edisi Desember 2021.
CME FedWatch mencatat, pasar menduga bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya setelah rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Maret 2022, di mana probabilitasnya mencapai 64,1%.
“Indikasi The Fed semakin khawatir dengan inflasi akan menciptakan pandangan bahwa mereka akan melakukan pengetatan kebijakan secara agresif pada 2022. Lebih hawkish dari dugaan,” kata David Carter, Chief Investment Officer di Lenox Wealth Adivisors yang berbasis di New York, seperti dilansir IDN.
Suku bunga yang lebih tinggi memang dirancang untuk mencegah inflasi melonjak lebih jauh.
Namun, salah satu dampaknya ke pasar modal adalah kebijakan tersebut akan memukul aset spekulatif seperti saham dan mungkin juga kripto, karena investor lebih memilih investasi yang lebih aman seperti obligasi pemerintah AS.
Menurut Daren Fonda dari Barron’s menjelaskan bahwa aksi jual Bitcoin menjadi indikasi lain bahwa Bitcoin bergerak seperti saham teknologi di bursa saham AS, ketimbang sebagai penyimpan nilai atas inflasi atau ‘emas digital’ seperti sebutan pendukungnya.
Para pendukung Bitcoin sebagai emas digital menyebut, pasokan terbatas Bitcoin yang sebanyak 21 juta koin, dengan 18,92 juta koin berhasil ditambang tidak dapat diturunkan seperti mata uang fiat yang rentan terhadap inflasi dan hilangnya daya beli masyarakat.
Namun, ujar Daren Fonda, dengan adanya flash crash semacam ini, Bitcoin sejauh ini belum bisa bertindak sebagai aset alternatif selain saham. Ini lantaran Bitcoin masih berada di bawah tekanan The Fed dan bank sentral lainnya yang mencoba ‘mendinginkan’ ekonomi yang mulai memanas.
Aset kripto lain juga, imbuh Daren, tampaknya berkinerja lebih seperti taruhan terhadap saham teknologi baru daripada aset alternatif.
“berkorelasi dengan kinerja Nasdaq dalam jangka pendek,” kata dia.
(Agung)