BANDUNG,FOKUSJabar.id: Kasus asusila oleh seorang oknum guru Boarding School di Bandung terhadap 12 muridnya hingga melahirkan sangat menyakitkan publik.
Tidak hanya Bandung, kasus pencabulan pun kembali terungkap di Cilacap yang juga oknum guru merudapaksa 15 siswi.
Menyikapi hal itu, Anggota Komisi 1 DPR RI dari Fraksi NasDem Muhammad Farhan menilai, para pelaku tidak hanya harus dijerat maksimal hingga kebiri untuk memutus mata rantai potensi pelecehan, tetapi juga harus dibatasi mobilitas fisik dan mobilitas sosialnya. Pasalnya, dampak perbuatan bejat pelaku merusak kondisi sosial para korban.
“Pelaku kejahatan kekerasan seksual harus menanggung beban jangka panjang, sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial, karena korban kejahatan kekerasan seksual harus menanggung dampak jangka panjang,” kata Farhan dalam keterangan persnya, Senin (13/12/2021).
Kasus asusila di Bandung pun kini disorot publik agar pengadilan memberi hukuman berat. “Memang sangat memprihatinkan. Tetapi sebelum kita menyoroti dengan amarah menggunung, kita sadari dulu bahwa kejahatan pidana itu tanggung jawab pribadi, bukan lembaga,” kata dia.
BACA JUGA: Kasus Asusila Oknum Guru Ngaji, Pemkot Bandung Sudah Ambil Langkah
Kejadian ini jadi momentum untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Jadi momentum ini menjadi pas dengan upaya mempercepat pengesahan RUU TPKS karena akan menumbuhkan kesadaran hukum dalam pikiran kita, secara proporsional. Pihak yang perlu dihakimi adalah pelaku, bukan pesantrennya,” kata Farhan.
Lalu bagaimana tanggung jawab lembaga tersebut? Dalam RUU TPKS, kata dia, ada pasal pemulihan korban yang programnya melibatkan lembaga tempat kejadian, dalam hal ini pesantren tersebut.
“Artinya kesadaran hukum masyarakat sudah meningkat dan tidak ada alasan lagi menunda pengesahan RUU TPKS,” kata dia.
Dia menekankan agar pemerintah daerah hadir memberikan perlindungan kepada para korban dengan intensif.
“Perlu kita apresiasi upaya DP3AKB Provinsi Jabar dan ibu Atalia Kamil yang gercep (gerak cepat) memberi perlindungan dan pemulihan korban, bahkan jauh sebelum kasus ini diangkat di media sosial. Perlindungan psikologis dan pemenuhan kesehatan ibu dan anak (yang masih di kandungan maupun yang sudah lahir) menjadi prioritas utama,” kata dia.
Kemudian, lanjut Farhan, pemenuhan hak korban sebagai anak, baik kepada sang ibu yang masih usia anak-anak, termasuk anak-anak yang dikandung dan yang sudah lahir.
Pihaknya mengajak semua pihak yang ingin membantu para korban untuk berkolaborasi dengan DP3AKB Provinsi Jabar.
“Hindari politisasi kasus ini, apalagi sampai dihubungkan dengan Pilpres 2024. Sangat tidak manusiawi,” kata Farhan.
Dari semua permberatan hukuman, mulai dari penjara hingga kebiri kimia, kata dia, ada satu hal yang belum diberlakukan, yakni pembinaan dan rehabilitasi bagi pelaku setelah menjalani hukuman.
Rehabilitasi dan pembinaan kepada pelaku akan memberi ketentuan pembatasan mobilitas fisik dan mobilitas sosial pelaku. Tujuannya untuk memberikan efek jera bahwa perilaku kekerasan seksual akan membawa dampak jangka panjang kepada kehidupan para pelaku tersebut.
“Sayangnya, pidana kekerasan seksual bukan masuk kategori extraordinary crime. Sehingga tidak bisa berlaku surut, akibatnya perilaku kejahatan kekerasan seksual tidak bisa diusut sampai ke tindakan sang pelaku di masa lalu,” kata dia.
(LIN)