BANDUNG,FOKUSJabar.id: Dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat terkait mitigasi bencana, Sekolah Farmasi ITB menggelar Webinar Mitigasi Bencana dari sisi Farmasis, Peneliti, Akademisi, Pemerintahan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting. Kegiatan digelar sebagai bagian dari program pengabdian masyarakat bottom up ITB 2021.
Ketua Pelaksana, Irianti Bahana Maulida Reyaan mengatakan, kegiatan webinar ini diawali dari gagasan dosen penanggungjawab mata kuliah Mitigasi Bencana dalam bidang Farmasi yang merupakan salah satu mata kuliah pilihan di Sekolah Farmasi ITB. Kegiatan bertujuan untuk sharing berbagi informasi dari narasumber sesuai kepakaran dengan bidang terkait kebencanaan mulai tenaga kesehatan, akademisi, peneliti, hingga pemerintahan.
“Pada webinar ini, kita menghadirkan empat narasumber yang akan membahas terkait mitigasi bencana sesuai dengan keahlian bisang masing-masing,” kata Irianti.
Keempat narasumber tersebut yakni Apoteker RSKIA Kota Bandung yang merupakan Apoteker Tanggap Bencana, Ganjar Reynatan yang akan memaparkan materi terkait ‘Peran Farmasis dalam Kondisi Bencana’. Lalu Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB sekaligus Peneliti Pusat Mitigasi Bencana ITB, Irwan Meilano terkait Kajian Risiko Bencana Banjir dan Gempa di Kota Bandung.
“Di sesi kedua, narasumber yang akan memaparkan materinya yakni Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, Edy Heryadi terkait Communication Risk dan Persiapan Menghadapi Bencana serta Dosen KK Ilmu Keolahragaan Sekolah Farmasi ITB, Agung Dwi Juniarsyah tentang Kesiapan Fisik dalam Menghadapi Bencana,” Irianti menambahkan.
BACA JUGA: Pulihkan Sektor Ekonomi Kota Bandung, Oded: Seluruh OPD Bantu UMKM
Ketua LPPM ITB, Yuli S. Indartono mengatakan, kegiatan webinar yang digelar Sekolah Farmasi ITB kali ini sangat baik. Pasalnya, Indonesia berada di area yang disebut Ring of Fire karena dikeliling oleh gunung api.
“Webinar ini menunjuukan jika teman-teman di Sekolah Farmasi punya kesadaran yang tinggi terkait kebencanaan sesuai dengan profesi kefarmasiannya. Ini juga selaras dengan visi misi ITB yakni ‘a Globally Respected and Locally Relevant’ untuk meningkatkan sekaligus mengukuhkan keberadaan ITB dalam rangka membangun dan mengedukasi bangsa Indonesia,” kata Indartono.
Dekan SF ITB, I Ketut Adnyana menambahkan, webinar yang digelar Sekolah Farmasi ITB cukup lengkap dengan berbagai topik yang dihadirkan narasumber. Saat terjadi bencana, aspek yang diprioritaskan adalah fisik atau infrastruktur sehingga terkadang lalai terkait aspek kesehatan dan menjadi prioritas.
“Kita lihat contoh kasus saat Tsunami di Aceh, bagaimana alur obat dari sumbangan pada pendonor itu apakah legal, apakah obat-obat yang benar-benar diperlukan hingga terkait uji klinis obat tersebut. Itu kan harus ada penanganan dari pihak yang paham yakni para farmasis ini, meski di sisi lain kita tetap harus mengharagoi dan mengapresiasi niat baik pada donatur,” kata Ketut Adnyana.
Untuk itu, poin penting dari peran seorang farmasis dalam sebuah mitigasi bencana harus bisa terlihat jelas dan menjadi prioritas. “Mudah-mudahan melalui webinar ini kita mendapat pelajaran dan manfaat yang banyak serta benang merah dari empat narasumber yang menyampaikan materinya,” Ketut Adnyana menegaskan.
Terkait peran seorang farmasis dalam kondisi bencana, dippaparnya Ganjar Reynatan. Apoteker RSKIA Kota Bandung sekaligus anggota Apoteker Tanggap Bencana menuturkan, seorang farmasis harus ikut serta dalam mitigasi bencana sebagai bagian dari masyarakat sekaligus tuntutan profesi.
“Tenaga farmasi dibutuhkan dalam penanganan bencana diantaranya untuk penanganan obat, pengelolaan donasi obat, optimalisasi penggunaan obat, hingga keamanan pasien atau penyintas,” kata Abah Ganjar (sapaan akrab Ganjar Reynatan).
Terkait standar kemampuan farmasis di lokasi bencana, lanjut dia, diatur dalam PMK 72, 73, 74 tahun 2016. Setidaknya terdapat dua kegiatan besar seorang farmasis di lokasi bencana.
“Yakni pengelolaan perbekalan farmasi dan penanganan farmasi klinik,” kata dia.
Sementara Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Irwan Meilano memaparkan terkait Kajian Risiko Bencana Banjir dan Gempa di Kota Bandung. Peneliti Pusat Mitigasi Bencana ITB ini mengatakan, bencana merupakan gangguan serius terhadap fungsi komunitas atau masyarakat yang melibatkan kerugian dan korban manusia, material, ekonimi atau lingkungan yang melebihi kemampuan komunitas mengatasinya dengan sumber dayanya sendiri.
“Mitigasi yang baik itu diawali dengan pemahaman komprehensif akan akan risiko bencana, kondisi fisik (ancaman) dan diri kita (kerentanan dan pasitas),” kata Irwan.
Untuk itu, lanjut dia, semua pihak harus memahami terkait risiko bencana sehingga bisa mengetahui terkait mitigasi bencana atau tindakan dalam mengurangi dampak bencana. Setidaknya terdapat lima hal dalam pengurangan risiko bencana sesuai dengan kesepakan Hyogo Framework.
Yakni memastikan kajian risiko sebagai prioritas, memahami diri kita sendiri dengan lakukan identifikasi, asses dan monitor, serta menggunakan ilmu pengetahuan. Kemudian mengurangi faktor penyebab dan memperkuat kesiapsiagaan kita.
“Risiko bencana itu muncul karena dua hal yakni potensi ancaman alam atau disebut hazard dan potensi diri kita atau masyarakat/komunitas yang rentan,” kata dia.
BACA JUGA: Pandemi Covid-19 di Bandung Membaik, Kunjungan Wisatawan Mulai Meningkat
Sementara Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Jabar, Edy Heryadi menyebut Jabar merupakan ‘supermarket’ bencana dengan 10 kejadian di awal pemaparannya yang mengangkat tema Communication Risk dan Persiapan Menghadapi Bencana. Ancaman bencana di Jabar yakni gunung api aktif, gempa bumi, banjir, pergerakan tanan, tsunami, kebakaran hutan dan lahan, kebakaran pemukinan, angin puting beliung, kegagalan teknologi, serta kejadian luar biasa.
“Untuk mengukur risiko bencana di Jabar dengan cara mengalikan kerentanan dengan jenis ancama lalu dibagi kapasitas sehingga keluar Indeks Risiko Bencana atau IRB. Jabar sendiri memiliki IRB 145.81 di tahun 2020 dan menempati peringkat 14 dari 34 provinsi. Sedangkan untuk kota dan kabupaten di Jabar, berada di IRB tinggi sebanyak 11 kota/kabupaten dan IRB sedang sebanyak 16 kota/kabupaten,” kata Edy.
Untuk jumlah total kejadian bencana di Jabar dalam rentang 2015-2020, kata Edy, mencapai 8.422 kejadian. Lalu di tahun 2021 sejak bulan Januari sampai September mencapai 1.561 kejadian.
“Rata-rata dominasi bencana yang terjadi itu yakni tanah longsor, angin puting beliung, banjir, serta kebakaran hutan dan lahan,” Edy menambahkan.
Dalam penanggulangan bencana, BPBD Jabar mengusung empat filosofi. Yakni jauhkan bencana dari manusia, jauhkan manusia dari bencana, beradaptasi dan hidup harmoni dengan bencana, serta mendorong kearifan lokal sebagai kekuatan utama.
“Untuk kesiapsiagaan dalam mengurangi risiko bencana, kita secara masif melalukan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat mulai dari tingkat kota/kabupaten hingga RT/RW sampai ke instansi pendidikan. Untuk mengurasi risiko itu kesiapsiagaan yang berasal dari diri sendiri menjadi poin yang utama selain dukungan keluarga, dukungan teman/tetangga, dukungan orang sekitar, hingga dukungan tim SAR,” Edy menegaskan.
Dosen KK Ilmu Keolahragaan SF ITB, Agung Dwi Juniarsyah yang memaparkan terkait Kesiapan Fisik dalam Menghadapi Bencana menuturkan beberapa opsi kegiatan olahraga yang bisa dilakukan untuk menjadi kondisi dan kebugaran tubuh. Meski saat bencana, tubuh harus bisa tetap aktif untuk menjaga kondisi dan kebugaran tubuh.
Agung mengatakan, setidaknya terdapat beberapa hal yang harus diketahui dalam melakukan latihan olahraga. Yakni mengetahui karakteristik fungsi fisiologi tubuh dalam berolahraga dan lakukan latihan sesuai dengan kemampuan berdasarkan pedoman FITT (Frequaency, Intensity, Time, Type). Lalu lakukan olahraga untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran dan fungsi kognitif yang lebih baik serta bukan seberapa keras latihan tapi bagaimana bisa terus konsisten dengan latihan yang dilakukan.
Tips agar latihan olahraga kita bermanfaat dan membuat tubuh kita bisa terjaga kondisi dan kebugaran setidaknya dilakukan 3-5 kali dalam seminggu dengan durasi waktu sekitar 20-30 menit dalam satu sesi. Lakukan secara konsisten meski berada di lokasi bencana,” kata Agung.
(Ageng)