BANDUNG,FOKUSJabar.id: COVID-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia masih berlangsung, bahkan hampir 1,5 tahun terakhir. Tak sedikit anak-anak menjadi yatim karena orangtua mereka meninggal ‘akibat’ COVID-19.
Bahkan, ada 5.642 anak menjadi yatim piatu selama virus Corona mewabah di Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Alhasil, pendidikan mereka terbengkalai, begitupun dengan sandang pangan mereka sehari-hari.
Sebagai upaya mempertahankan pendidikan mereka, Pemerintah Provinsi Jabar bersama Pemkab/Pemkot se Jabar akan mendampingi dan membantu biaya pendidikan anak-anak Jabar berstatus uatim piatu (orangtuanya meninggal COVID-19).
BACA JUGA: COVID-19 di Kota Bandung Menurun, Oded Ingatkan Warga Jaga Prokes
“Semua yang menjadi yatim piatu karena orangtuanya meninggal COVID-19, pendidikannya akan kita urus, minimal sampai jenjang SMA/SMK,”kata Emil di Bandung.
Terlebih pendidikan di Jabar sudah gratis operasional dan SPP mulai tingkat SD,SMP (kewenangan Kabupaten/Kota), hingga SMA yang dibidangi provinsi. Tentunya ada keseharian di luar biaya gratis spp-nya atau biaya satuan pendidikan (tidak gratis).
“Itu kita akan rumuskan.Jadi di luar pemerintah menjamin pendidikannya, sosialnya juga banyak yang ingin membantu, itu kami sedang rumuskan,” kata Emil.
Saat ini datanya masih terus diperbaharui dan disinkronkan dengan kabupaten/kota. Verifikasi data itu dilakukan untuk menjamin tidak ada anak yang terlewat.
60 Persen Warga Jabar Alami Tekanan Psikis, Cemas dan Khawatir
Di sisi lain, sepanjang COVID-19 tercatat 60 persen warga Jabar mengalami tekanan psikis, cemas dan khawatir. Termasuk 2 ribuan lebih anak yatim dan yatim piatu yang ditinggal orangtuanya karena orangtunya meninggal akibat COVID-19.
“Itu semua harus menjadi perhatian kita,” kata Emil.
Sebagai salah satu bentuk perhatian, Pemprov Jabar berkolaborasi dengan Gerakan Titik Koma guna menurunkan tingkat depresi masyarakat. Bahkan sebelumnya sudah menjalankan program mobile konseling, konseling di rumah sakit jiwa dan hotline, juga kampung kesehatan mental.
“Ini kolaborasi yang kita harapkan agar bisa menurunkan tingkat depresi, terlebih isu kesehatan mental tidak hanya berdampak pada kalangan tertentu. Dari anak-anak sampai pemimpin pun punya persolan yang terkadang tidak muncul karena situasi.
(Solihin)