spot_img
Sabtu 20 April 2024
spot_img
More

    Agum Gumelar Minta UPI Siapkan Ini Di Usia ke-66

    BANDUNG,FOKUSJabar.id: Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UPI Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Agum Gumelar, M.Sc., mengajak civitas akademika UPI untuk ikut serta merajut persatuan Indonesia melalui pengabdian di sektor pendidikan. Hal tersebut disampaikan melalui pidatonya pada peringatan Dies Natalis ke-66 UPI di Gymnasium UPI, Jalan Setiabudi Kota Bandung, Selasa (20/10/2020).

    Agum Gumelar memulai pidato berjudul ‘Membangun Wawasan Kebangsaan NKRI Universitas Pendidikan Indonesia Guna Ikut Serta Merajut Persatuan Indonesia Kokoh Melalui Pengabdiannya di Sektor Pendidikan’ dengan sebuah ungkapan bijak yakni bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan memahami sejarah perjuangan bangsa; mengenal, menghormati dan meneladani jasa serta pengorbanan para pahlawan bangsanya.

    Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) 2018-2019 ini mengajak civitas akademi UPI untuk mengetahui sejarah. Dimulai pada tahun 1905, saat Jepang berhasil mengalahkan Rusia sebagai negara adidaya saat itu secara telak. Hal tersebut menjadi embrio bangkitnya rasa kebangsaan di negara-negara di Asia, termasuk Indonesia dengan lahirnya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

    Lalu muncul Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dengan slogan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Hal inilah yang memunculkan semangat rakyat Indonesia meraih kemerdekaan dari penjajahan.

    “Setelah merdeka, pendiri bangsa merumuskan apa yang akan dilakukan dengan mempertimbangkan dua hal. Yakni faktor geografis dimana Indonesia berada di posisi strategis dunia serta faktor demografis dimana warga Indonesia yang multietnis. Dari dua faktor inilah lahirlah NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara. Jadi kalau saat ini ada kekuatan yang ingin mengganti NKRI dan Pancasila maka itu adalah musuh negara,” kata Agum Gumelar.

    fokusjabar.id agum gumelar dies natalis ke-66 UPI
    Peringatan Dies Natalis ke-66 UPI di Gymnasium UPI, Selasa (20/10/2020). (FOTO: Istimewa)

    BACA JUGA: Dies Natalis ke-66, UPI Bertekad Wujudkan Visi Leading & Outstanding University

    Agum pun memaparkan era bangsa Indonesia semenjak kemerdekaan diproklamirkan Soekarno-Hatta di tahun 1945, lalu era pemberontakan dengan puncaknya G30S-PKI hingga era reformasi. Era reformasi sendiri, lanjur dia, dipicu krisis ekonomi yang terjadi.

    “Maka muncul semangat rakyat waktu itu untuk meninggalkan era yang tidak disukai menuju era Indonesia yang didambakan yakni lebih transparan, lebih sejahtera, lebih mempunyai kepastian di bidang hukum, lebih menghormati HAM, menghormati kebebasan, dan lain sebagainya dengan spirit yang namanya reformasi,” lanjut dia.

    Yang menjadi pertanyaan saat ini, kata Agung, apakah negara kita sudah berada di era yang didambakan tersebut? Jawabannya masih jauh. Agung mengatakan jika Indonesia saat ini masih di masa transisi yang memiliki kerawanan dan sensitif.

    “Bangsa-bangsa di dunia pernah melalui masa transisi ini dan fakta sejarah memperlihatkan jika ada bangsa yang sukses melewatinya, tapi ada juga yang gagal. Salah satunya adalah Uni Soviet yang akhirnya menjadi negara yang hancur dan pecah menjadi beberapa negara. Pertanyaan saat ini, apakah kita akan menjadi bangsa besar atau bubar? UPI harus bisa melahirkan lulusan yang bisa menjawab pertanyaan ini,” kata Agum.

    Masa transisi saat ini dikatakan Agum rawan atau sensitif karena masih ada residu dari era reformasi. Salah satunya membenarkan segala perilaku yang tak benar dengan mengatasnamakan reformasi.

    Kemudian terjadi suasana kebebasan yang teramat bebas dan tidak ter-manaje dengan baik. Kebebasan yang menjadi liar itu, pada suatu waktu akan menjadi ancaman.

    Kerawanan lain di masa transisi adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang begitu pesat dan seharusnya memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa negara. Namun residu dari perkembangan Iptek salah satunya serfbuan informasi melalui media sosial yang menimbulkan keresahan dan tidak terkontrol.

    “Kerawanan yang terakhir adalah radikalis atau secara sederhana merupakan sikap pikir tindak yang menginginkan mengganti NKRI dan Pancasila dan radikal itu tidak identik dengan agama, khususnya Islam,” kata dia.

    Untuk itu, lanjut dia, yang menjadi tugas kita semua pada saat ini adalah kembali merajut persatuan diantara masyarakat kita. Lalu mengawal perjalanan bangsa menuju cita-cita nasional salah satunya dengan mengawal pemerintahan yang terpilih secara demokratis.

    “Mengawal pemerintahan jangan selalu diartikan harus berada di dalam lingkaran pemerintahan. Bersikap kritis kepada pemerintah dan menjadi oposisi pun termasuk dalam mengawal pemerintahan. Hanya saja dalam menyampaikan kritik dan sikap oposisi harus dengan cara proporsional, harus sesuai atura, etika dan elegan serta tidak dilandasi pemikiran benci kepada pemerintah. Kalau dilandasi itu, maka apapun yang dilakukan pemerintah itu salah dan itu tidak bijak, tidak dewasa. Saya mohon keluarga besar UPI tidak bersikap seperti itu,” kata Agum Gumelar.

    BACA JUGA: Rumah Deret Tamansari Kota Bandung Tahap 1 Usai 2021

    fokusjabar.id agum gumelar dies natalis ke-66 UPI
    Peringatan Dies Natalis ke-66 UPI di Gymnasium UPI, Selasa (20/10/2020). (FOTO: Istimewa)

    Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan era Presiden Adbulrahman Wahid ini pun meminta UPI menyiapkan generasi muda yang memiliki tiga syarat proses pembangunan menjadi bangsa yang besar. Pasalnya, generasi muda merupakan pemilik masa depan bangsa atau future belong to the young.

    “Syarat pertama yang harus dimiliki yakni jiwa semangat nasionalisme atau cinta kepada bangsa, lalu memiliki kualitas SDM yang baik karena era global saat ini merupakan era yang kompetititif. Dan syarat ketiga adalah disiplin untuk menyokong pembangunan agar berhasil. Tolong Pak Rektor bisa menyiapkan anak-anak yang lulus dari UPI dengan menerapkan tiga syarat ini,” kata Agum Gumelar.

    (Ageng)

    Berita Terbaru

    spot_img