BANDUNG,FOKUSJabar.id: Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Jawa Barat meminta pemerintah daerah (pemda) mempertegas sanksi soal pelanggaran protokol kesehatan jika tidak mau kembali ke pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Ketua IDI Jawa Barat dr Eka Mulyana mengatakan, saat ini kondisi tenaga kesehatan baik di Jawa Barat maupun di daerah lain cukup memprihatinkan. Untuk itu, pengetatan protokol kesehatan di tengah masyarakat menjadi upaya efektif untuk menekan kasus Covid-19.
“Pemda harus bisa memastikan protokol kesehatan bisa dipertegas menjadi efektif, bukan tidak mungkin tidak perlu PSBB juga bisa. Tapi pertanyaannya, bisa nggak. Kalau tidak, bukan tidak mungkin mundur lagi jadinya (ke PSBB),” kata Eka di Bandung, Minggu (13/9/2020).
BACA JUGA: PJJ Berdampak Buruk Bagi Dunia Pendidikan dan Peserta Didik
Eka mengatakan, sejauh ini masyarakat tidak bisa hanya diberikan imbauan soal konsistensi penerapan protokol kesehatan. Sanksi yang telah diatur pun perlu dipertegas untuk ditegakkan kepada para pelanggar.
Protokol kesehatan menjadi sangat penting untuk mencegah efek domino yang bisa mengancam kepada ketahanan tenaga kesehatan. Jika masyarakat abai, akan membuat penyebaran serta jumlah kasus terus meningkat sehingga tingkat okupansi rumah sakit pun terus bertambah.
“Menekan kasus Covid-19, artinya menekan penyebaran virusnya, memutus rantai penularan. Sekarang bagaimana protokol kesehatan, sanksinya, karena tujuannya supaya beban kerja tenaga medis tidak melebihi batas,” kata dia.
Sejak virus corona dari Tiongkok masuk ke Indonesia pada Maret 2020, lanjut dia, saat ini sudah lebih dari 100 dokter yang meninggal dunia akibat Covid-19. Jumlah kematian dokter itu, merupakan salah satu yang terbanyak dibandingkan negara lain.
“Ini menyebar di seluruh provinsi bukan hanya di Jawa Barat, jadi ini terus bertambah sehingga kami sangat prihatin. Kenapa bisa seperti ini, karena kondisi sistem kesehatan kita, yang disebut okupansi atau kapasitas tempat tidur di rumah sakit sudah kelebihan kapasitas,” kata Ketua IDI Jabar ini.
Selain itu, Ketua IDI Jabar ini pun meminta pemda untuk melakukan evaluasi terkait angka reproduksi penularan Covid-19 yang selama ini menjadi patokan langkah mitigasi. Pasalnya, angka reproduksi Covid-19 yang disampaikan pemda dinilai tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
“Kenyataannya di lapangan sampai ada klaster baru, tiba-tiba di satu institusi ada 100 lebih (kasus positif Covid-19). Itu kan menunjukkan masih terjadi penularan,” Eka menambahkan.
Sebelumnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menyatakan wilayahnya masih termasuk kepada zona oranye. Ini dipahami tingkat risikonya sedang dengan angka reproduksi di bawah satu yakni 0,81.
Namun jika menyebut angka reproduksi di bawah satu, seharusnya sudah tidak ada lagi penularan Covid-19 dari orang ke orang. Tapi yang saat ini terjadi, lanjut dia, jumlah kasus Covid-19 kian meningkat, bukan hanya di Kota Bandung.
“Yang disebut angka reproduksi, kan harus di bawah satu. Kalau di atas satu, artinya angka penularannya masih tinggi. Ternyata waktu itu dari PSBB diubah dari adaptasi kebiasaan baru (AKB), katanya ada kemajuan, tapi sekarang angka reproduksi naik, penyebarannya bertambah,” Eka mempertanyakan.
BACA JUGA: Wartawan Cirebon Sesalkan Sikap Polres Ciko Yang Terkesan Tertutup
Untuk itu, mengevaluasi kembali angka reproduksi atau mencari patokan lain soal potensi penyebaran Covid-19 menjadi sangat diperlukan. Sehingga langkah yang diambil dalam kebijakan dapat menekan jumlah kasus baru.
(Ageng/ANT)