BANDUNG, FOKUSJabar.id: Mulutmu, harimaumu. Pepatah tersebut mungkin tepat dialamatkan kepada dua pejabat negara yang dalam beberapa pekan terakhir ini membuat ‘heboh’ seantero nusantara seiring pernyataan kontroversial mereka.
Kedua pejabat yang dimaksud yakni Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty.
Yudian mengeluarkan dua pernyataan kontoversial terkait ‘Agama musuh besar Pancasila’ serta ‘Salam Pancasila’. Sementara Sitti mengeluarnya statemen terkait perempuan yang bisa hamil jika berenang satu kolam bersama laki-laki.
Dikutip dari republika.co.id, Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyoroti perbedaan perlakuan lembaga masing-masing terhadap dua pejabat tersebut. KPAI membentuk Dewan Etik untuk ‘mengadili’ Sitti dan terancam sanksi etik.
Lalu bagaimana dengan Yudian Wahyudi? Hingga kini tidak ada tanda-tanda proses etik dari BPIP atau pihak Istana atau Presiden Joko Widodo yang melantiknya pada Rabu (5/2/2020) lalu. Meski Dewan Etik memang tidak diperlukan di BPIP, namun Yudian seharusnya menyadari jika dirinya telah mencederai lembaga yang semestinya menjaga harmoni bangsa. Sebab, Pancasila sebagai tanda pemersatu bangsa.
“Yudian telah merusaknya dengan statement pongah. Tanpa ada desakan sekalipun, Yudian seharusnya malu memanggul tanggung jawab sebagai Kepala BPIP,” kata Dedi.
Dua perlakuan yang berbeda tersebut, menurut Dedi, menjadi sebuah dilema yang dapat disaksikan masyarakat. Mengingat, Indonesia sudah memiliki Ombudsman sebagai lembaga penjaga etika pejabat negara. Jika tidak ada tindakan apa pun dari Ombudsman, maka negara ini tidak memiliki sistem etik yang baik.
“Kecuali pemerintah merestui kontroversi yang dibuat kepala BPIP, maka sah-sah saja Yudian tetap merasa benar dengan statement-nya. Terlepas dari itu, dua fenomena yang terjadi belakang ini pun menandai buruknya rekrutmen pejabat negara,” tegasnya.
Yudian Wahyudi sebagai kepala BPIP pun hanya mendapat teguran keras dari DPR RI, khususnya Komisi II yang mempunyai ruang lingkup tugas di bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, serta Pertanahan dan Reforma Agraria.
“Lebih baik banyak bekerja daripada banyak mengeluarkan statement. Tantangan ke depan badan ini menjadi badan yang sangat strategis,” ujar Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tanjung.
Dewan etik untuk BPIP pun dinilai belum diperlukan lembaga tersebut. BPIP hanya berniat membentuk tim untuk menyampaikan pernyataan resmi sehingga tak lagi berpolemik di masyarakat, khususnya yang terkait suku, agama, dan ras.
“Tinggal kita bicara lebih lengkap tentang program-program apa yang harus dilakukan BPIP dalam rangka membumi kan Pancasila,” tutut Doli.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Yaqut Cholil Qoumas yang akrab disapa Gus Yaqut pun menilai jika BPIP tidak perlu membuat Dewan Etik seperti halnya KPAI. Gus Yaqut menilai, masyarakat cukup mendesak Presiden mengganti kepala BPIP.
“Enggak perlu (Dewan Etik), cukup mendesak Presiden mengganti kepala BPIP yang bisa jaga mulut saja sudah cukup,” ujar Yaqut.
Politikus PKB tersebut menganggap masih banyak ahli yang mengerti tentang Pancasila. “Mana yang mampu membedakan kapan bicara di ruang-ruang akademik dan mana pembicaraan di ruang publik,” tegasnya.
Anggota Komisi II DPR RI lainnya, Sodik Mujahid pun berpendapat terkait Dewan Etik di BPIP. Sodik menilai jika tidak setiap lembaga negara memiliki aturan yang sama dalam dalam menyelesaikan persoalan etik. Begitu antara BPIP dan KPAI.
“Aturan main KPAI dengan badan dalam hal ini BPIP, jelas berbeda,” tegas politikus Partai Gerindra ini.
Meski tidak ada Dewan Etik, kata Sodik, masyarakat bisa menilai kinerja BPIP. Masyarakat dapat menuntut yang bersangkutan kepada pimpinan BPIP langsung atau ke DPR RI dan pihaknya telah menegur keras yang bersangkutan.
“Masyarakat yang menilai, pimpinan dan Presiden menilai. Jika masyarakat akan mempersoalkan secara hukum dengan argumentasi hukum yang kuat, silakan,” terang Sodik.
Politikus Partai Gerindra, Fadli Zon justru mengusulkan pembubaran BPIP sebagai solusi paling tepat. Alasannya, BPIP dinilai terlalu sering membuat gaduh.
“Nggak penting-penting amatlah (BPIP). Cuma nyari-nyari posisi aja, penempatan orang saja. Nggak penting ini lembaga (BPIP),” ujar Fadli Zon.
Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP) ini pun mempertanyakan tugas dari BPIP. Apalagi dengan pernyataan kontroversi yang dikeluarkan Yudian sebagai Kepala BPIP.
“Apalagi yang mau dibina? Kepalanya atau ketuanya saja pernyataannya bikin blunder terus menerus, masa dibiarkan? Ini membuat kegaduhan di masyarakat. Semangatnya bukan Pancasila, justru memecah belah,” tegasnya.
Sementara kedua tokoh pejabat yang bersangkutan pun sudah menyampaikan permintaan maaf. Sitti sudah menarik pernyataannya soal perempuan bisa hamil di kolam renang umum dari laki-laki yang mengeluarkan sperma di tempat tersebut.
Sitti pun meminta maaf atas pernyataan yang tidak benar tersebut. Ia pun menegaskan jika pernyataan tersebut merupakan sikap pribadi, bukan pandangan KPAI.
Adapun Yudian, memberikan klarifikasinya soal pernyataannya. Menurut Yudian, yang dimaksud bukan agama secara keseluruhan, tapi mereka yang mempertentangkan agama dengan Pancasila. Karena, menurutnya, dari segi sumber dan tujuannya Pancasila itu religius atau agamis.
“Kelima sila dapat ditemukan dengan mudah di dalam kitab suci keenam agama yang telah diakui secara konstitusional oleh negara Republik Indonesia,” tegas Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.
Yudian pun menyebut jika Pancasila adalah penopang. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan kesetiaan atau bahasa lainnya sekuler tapi bukan sekularisme. Lalu membutuhkan ruang waktu, pelaku, anggaran dan juga perencanaan.
“Kasih contoh, kita mau mewujudkan persatuan Indonesia. Maka kita cari siapa panitianya kapan tempatnya, anggarannya seperti apa, acaranya apa itu namanya urusan manusia dan manusia di sini berarti manusia Indonesia,” terang Yudian.
Hanya saja, dalam hubungan ini kerap terjadi ketegangan. Ada kelompok-kelompok minoritas yang mengaku mayoritas dan mereka membenturkan. Inilah yang dimaksud Yudian, sebagai ‘agama musuh Pancasila’.
“Kalau tidak pandai mengelola ini perilaku agama-agama ini akan menjadi musuh terbesar. Mengapa? karena setiap orang beragama, maka agama siapa kalau dibaca kan ketemunya Islam, Islam siapa begitu, itu yang saya maksud,” tutur Yudian.
(ars)