spot_img
Jumat 3 Mei 2024
spot_img
More

    Soal Komunitas Kerajaan, Ini Kata Akademisi Tasikmalaya

    TASIKMALAYA, FOKUSJabar.id: Ketua Program Studi Sejarah Peradaban Islam Sekolah Tinggi Ilmu Adab dan Budaya Islam (STIABI) Riyadlul ‘Ulum, Condong Tasikmalaya Dian Prayoga mengatakan, munculnya komunitas kerajaan membuktikan bahwa pemerintah tidak sanggup mendeteksi pergerakan sosial masyarakat. 

    Bahkan pemerintah tidak mampu meminimalisasi dan menindak tegas perilaku aktivitas kelompok tersebut. Apalagi jika melanggar dan melawan hukum tata negara Indonesia. 

    Menurut dia, ada tiga poin penting yang dicatat terkait fenomena munculnya komunitas yang mengatasnamakan kerajaan.  Pertama langkah yang dilakukan komunitas itu salah. Seharusnya mereka mendirikan kampung budaya atau desa adat yang diakui oleh pemerintah. 

    Kedua, lanjutnya, dalam kaidah usul fiqih, kalau ada hukum baru maka hukum lama tidak ada. Ibaratnya, pola kerajaan ini merupakan hukum lama dan sudah terkubur oleh hukum baru secara hukum tata negara.

    “Tidak menutup kemungkinan di sebuah daerah pasti ada yang mengaku penguasa atau keturunan kerajaan daerah itu. Namun karena sudah ada hukum baru, maka tidak sah secara hukum tata negara,” kata dia. 

    Terakhir, ketidakpekaan pemerintah dalam mendeteksi pergerakan masyarakat. Jika poin ketiga terlaksana dengan baik, maka poin satu dan dua tidak akan terjadi.

    Doktrinasi dan Kaderisasi

    Pasca ditangkapnya raja dan ratu Keraton Agung Sejagat dan ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan penipuan, kasus ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia.

    Sebelumnya ada Kanjeng Dimas yang disebut-sebut memiliki kemampuan menggandakan uang serta Eyang Subur yang menggunakan metode hipnotis doktrin dan kaderisasi. Sekarang kembali muncul Sunda Empire yang menggegerkan publik Jawa Barat.

    Fenomena kemunculan komunitas yang mengatasnamakan kerajaan ini tentu tidak lepas dari pengaruh doktrinasi serta kaderisasi.

    “Adanya fenomena ini, saya lebih menitikberatkan pasti ada unsur lain seperti mengarah pada penipuan,” kata Dian yang juga menjabat sebagai Sekretaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kabupaten Ciamis.

    Konsep doktrin dan organisasi kaderisasi menjadi cara mereka dalam melakukan merekrut massa yang sebagian besar menggunakan cara pragmatisme dengan iming-iming penghasilan yang lebih baik. Dian menyimpulkan, secara adat di daerah mengaku ada kerajaan tetapi secara struktural tidak mengakui sepenuhnya.

    “Jadi secara struktur, mereka mengaku warga negara Indonesia. Namun secara kultural di masyarakat mereka mengaku jika dirinya adalah keturunan kerajaan yang pernah berdiri di Nusantara,” pungkasnya.

    (Boip/ars)

    Berita Terbaru

    spot_img