Kamis 12 Desember 2024

Tak Hanya Muslim Uyghur, Pemerintah China Sekap dan Siksa Muslim Kazakh

BANDUNG, FOKUSJabar.id: Tak hanya muslim Uyghur, Pemerintah China pun diduga menyekap dan melakukan penyiksaan terhadap etnis Kazakh yang beragama Islam. Penyekapan dan penyiksaan diduga dilakukan di berbagai kamp di Provinsi Xinjiang, China.

Dikutip dari BBC Indonesia, ribuan muslis Kazakh ditahan di kamp ‘re-edukasi’ yang berlokasi di Provinsi Xinjiang, China, sejak tahun 2017 dan mengaku mengalami penyiksaan selama berada di sana. Kebayakan dari anggota etnis Kazakh ini tinggal di perbatasan dengan China dan mereka menjadi pelintas batas selama berabad-abad.

Para saksi mata yang keluar dari kamp tersebut menyatakan, di depan ‘sekolah’ tersebut ada tulisan ‘sekolah kejuruan’ dalam bahasa China dan Uyghur. Pemerintah China pun menyatakan sekolah-sekolah itu adalah sekolah kejuruan yang ditujukan memberi pelatihan dan para pelajar masuk ke dalamnya secara sukarela.

Seorang Muslim Kazakh bernama Orinbeck mengaku pernah ditahan di sekolah itu selama empat bulan dan menceritakan pengalamannya.

“Saya harus mempelajari kebijakan-kebijakan pemerintah China, saya harus belajar bahasa dan sejarah China. Kami juga harus melupakan bahasa Kazakh. Kata mereka, kalau saya tidak belajar lagu-lagu dan aksara China, maka saya tak boleh meninggalkan tempat itu,” kata Orinbeck.

Orinbeck pun mengaku disiksa. “Saya diikuti ke toilet. Kalau saya mencuci tangan dan muka (untuk berwudhu) mereka akan membentak saya: mengapa kamu minum air! Lalu mereka akan memukul saya,” terang Orinbeck.

Orinbeck mengaku ia sering disuruh membuka baju sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.

“Lalu mereka akan menyiram saya dengan air yang saya tak tahu itu air atau apa,” tambahnya.

Selama tiga bulan, Orinbeck diperlakukan seperti itu dan merasa putus asa serta ingin mengakhiri hidupnya.

Penyiksaan pun kerap terjadi di dalam kamp tahanan tersebut. Seperti diungkapkan penyintas lainnya, Tursinbeck.

Tursinbeck mengaku disiksa selama berada di sana. Ia mengaku dibawa ke ruang bawah tanah sedalam 20 meter dari permukaan tanah yang disebut ‘zindan’ di mana kantungnya diperiksa. Arloji dan ikat pinggangnya disita, tanpa mengetahui alasannya.

“Saya dipukul di bagian telinga sehingga saya kehilangan keseimbangan,” akunya.

Kedutaan Besar China di London menyatakan kepada BBC jika penyiksaan semacam itu adalah ‘desas-desus semata’. Mereka mengatakan seluruh ‘peserta pelatihan’ telah dilepaskan dari sekolah tersebut.

Pemerintah China pun mengklaim para lulusan sekolah tersebut telah memperoleh ‘dukungan’ untuk mendapat pekerjaan.

BACA JUGA: Ratusan Umat Muslim Tasikmalaya Gelar Aksi Solidaritas Uighur

Namun orang-orang yang berhasil selamat dari kamp menyatakan jika pekerjaan itu adalah ‘kerja paksa’. “Ketika saya dilepas, saya harus melapor kepada polisi,” kata Turinbeck.

“Saya diberi topi polisi, pentungan dan rompi anti peluru. Lalu kami harus berpatroli menjaga lingkungan dari pukul 7 pagi hingga 10 malam. Selama itu kami tidak diberi makanan atau upah,” tambahnya.

Seorang perempuan Kazakh, Gulzira pun mengaku pernah ditahan di sana selama 15 bulan. “Itu bukan sekolah. Itu penjara,” kata Gulzira.

Dirinya mengaku diberi suntikan sesudah tinggal di kamp itu selama tiga bulan. Ia pun tidak pernah tahu untuk apa suntikan itu. “Kalau menolak, mereka akan dikirim ke kamp yang lebih keras lagi,” katanya.

Gulzira pun menceritakan soal kerja paksa. Ia dipaksa untuk bekerja di pabrik untuk menjahit sarung tangan dan harus melapor kepada polisi desa ke manapun pergi.

“Jika tidak, mereka akan menuduh saya anti pemerintah. Dengan alasan itu, saya bisa dibawa kembali ke kamp,” katanya.

Gulzira pun merasa bersyukur bisa keluar dari kamp tersebut.

“Mereka memaksa saya untuk meninggalkan identitas saya. Tapi identitas saya tidak berubah. Saya tetap seorang Muslim, seorang Kazakh. Saya bangga menjadi Kazakh. Allah telah menyelamatkan saya,” tegasnya.

Sekalipun sudah dibebaskan, hingga saat ini, ratusan Muslim Kazakh belum kembali ke rumah mereka.

Seorang perempuan Kazakh, Gulnur, mengaku suaminya ditahan di kamp itu sejak Oktober 2017. Gulnur mengatakan suaminya ditahan karena di telepon genggamnya ditemukan aplikasi WhatsApp.

Kini, suami Gulnur sudah kembali ke rumah namun dikenakan tahanan rumah.

Dibantu kelompok hak asasi manusia Atajurt, Muslim Kazakh melancarkan kampanye untuk mencari anggota-anggota keluarga mereka yang masih hilang. Mereka mengedarkan video secara daring untuk membuat dunia sadar apa yang terjadi dengan etnis Kazakh yang tinggal di perbatasan dengan China.

(ars)

Berita Terbaru

spot_img