BANDUNG, FOKUSJabar.id : Dua kali operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di awal tahun 2020, tidak serta merta menegaskan Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK sudah berhasil. UU Nomor 19 tahun 2019 merupakan revisi dari UU Nomor 30 tahun 2002 dan resmi diundangkan di Lembaran Negara Nomor 197 dengan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN): 6409 tertanggal 17 Oktober 2019.
Dilasir dari CNN Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut dua kali OTT yang dilakukan KPK di awal 2020 menjadi penindakan pertama yang dilakukan KPK di bawah kendali Firli Bahuri Cs. Pernyataan ICW merespons berbagai pihak, salah satunya Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut kedua OTT KPK merupakan tanda keberhasilan UU KPK hasil revisi.
“Hanya karena KPK melakukan dua kali OTT, bukan berarti bakal tak ada gangguan pada proses hukum di KPK ke depannya. Justru UU KPK hasil revisi sejak awal sudah diindikasikan pelemahan terhadap KPK. Tidak ada gangguan dalam revisi undang-undang baru itu terlalu prematur, karena justru perdebatan publik menunjukkan adanya problem di undang-undang baru,” ujar Donal.
KPK pertama kali melakukan OTT terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah pada Selasa (7/1/2020) yang diketahui merupakan penyidikan KPK yang lama dang aturan lama. Saiful pun kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan proyek infrastruktur di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Sidoarjo.
Kurang dari 24 jam, giliran komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang terjaring OTT. Wahyu Setiawan pun sudah ditetapkan tersangka untuk kasus dugaan suap pengurusan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR.
BACA JUGA: ICW Kritik Keras KPK Limpahkan kasus OTT Kemendikbud ke Kepolisian
Terkait pernyataan Dewan Pengawas KPK yang menyebut tak ada izin dalam pelaksanaan OTT, Donal menyebut hal itu berpotensi menimbulkan problem hukum di kemudian hari. Misalnya, jika Bupati Sidoarjo mengajukan praperadilan dan KPK harus waspada menghadapi hal tersebut.
“Karena proses hukum yang dilakukan kemarin akan diuji di proses praperadilan. Soalnya ada beberapa pernyataan yang menurut saya memberi angin segar kepada mereka (pelaku korupsi). Seperti dewas yang tidak dilibatkan, hingga pimpinan gunakan undang-undang lama. Ini akan jadi amunisi bagi pelaku korupsi yang ditangkap,” tegasnya.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Zainal Arifin Mochtar menambahkan, narasi pelemahan lembaga antirasuah ini sangat berkaitan dengan undang-undang KPK yang baru. Jika dua OTT KPK masih menggunakan undang-undang lama, maka artinya undang-undang baru masih belum berjalan.
Lalu terkait pernyataan Dewas yang menyebut tidak ada izin terkait OTT Bupati Sidoarjo, menunjukkan kekacauan dari penerapan UU KPK yang baru. Merujuk Pasal 69D UU 19/2019, sebelum Dewas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum undang-undang ini diubah. Artinya, setelah Dewas terbentuk maka secara otomatis KPK berpedoman pada undang-undang yang baru.
“Padahal mekanisme antara Dewas dengan komisioner belum diatur. Bagaimana proses penanganan perkara, kapan diserahkan, apa yang dilakukan dewas, bagaimana menjawabnya, apakah dewas menjawab dengan catatan. Belum ada mekanisme, bagaimana mau bekerja peraturannya belum ada,” tutur Zainal.
Zainal pun menyebut potensi gangguan terhadap proses hukum dari dua kasus OTT Bupati Sidoarjo dan Komisioner KPU. Salah satunya pengajuan praperadilan yang dinilai merupakan dampak dari kekacauan UU KPK yang baru.
“Ya bisa jadi (ada efek proses hukum ke depan), saya sih melihatnya, bisa jadi, inilah akibat kacaunya undang-undang itu. Bisa jadi nanti di praperadilan,” pungkas Zainal.
(ars)