BANDUNG,FOKUSJabar.id: Surat Edaran (SE) Gubernur Provinsi Jawa Barat Ridwan Kamil tentang Upah Minimum Kabupaten/kota (UMK) dinilai menjadi penyelamat kisruh pengupahan yang terjadi dari tahun ke tahun. Sebelumnya SE tersebut menuai kontra dari serikat pekerja karena dianggap tidak mengikat terhadap perusahaan.
Pakar perburuhan Saut Kristianus Manalu mengatakan, SE Gubernur Jabar dinilai akan membuat sistem pengupahan di Jabar lebih fair. Pasalnya, menekankan perundingan antara perusahaan sebagai pemberi kerja dan buruh (pekerja) sebagai penerima upah.
Lanjut Saut, terbitnya SE Gubernur Jabar yang ditandatangani 21 November 2019, diharapkan menjadi titik tolak dalam membangun produktivitas dan kesejahteraan yang lebih tinggi.
“SE menyelamatkan kekisruhan pengaturan upah. Saya harap ini menjadi titik tolak produktivitas dan kesejahteraan yang lebih tinggi,” kata Saut, Selasa (26/11/2019).
Menurut Saut, kebijakan Gubernur Jabar merupakan tindakan paling fair dalam sistem pengupahan, khususnya di Jabar. Kebijakan tersebut dinilai menjadi momentum bagi pengusaha dan pekerjanya untuk saling terbuka soal upah. Terlebih, perundingan yang ditekankan dalam SE Gubernur Jabar merupakan hak yang dimiliki setiap pengusaha dan pekerjanya.
Saut menambahkan, SE Gubernur Jabar soal pelaksanaan UMK di Jabar sudah tepat dan sesuai dengan kontruksi hukum. Selain itu, SE Gubernur Jabar sejalan dengan spirit hubungan industrial karena menekankan perundingan di antara pengusaha dan pekerjanya.
“Gubernur hanya berkewajiban menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan hal itu sudah dilakukan Gubernur Jabar. Sedangkan dalam penetapan UMK, sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 78 Tahun 2015, Gubernur tidak melanggar jika tidak menerbitkan SK soal UMK,” terangnya.
SE Gubernur Jabar yang isinya menyatakan UMK 2020 tidak boleh lebih rendah dibandingkan UMK 2019, dinilai sebagai langkah tepat. Demikian juga dengan penyerahan mekanisme pengupahan berdasarkan perundingan dalam skala lokal.
“Itu sudah tepat menyerahkan pada pekerja dan pengusaha. Kalau sudah melewati batas upah minimum, ya itu idealnya dirundingkan. Setiap perusahaan itu memiliki kondisi kemampuan yang berbeda dengan tingkat produktivitas pekerja yang berbeda. Hal ini juga sebagai penekanan menghilangkan kekhawatiran terkait penurunan upah,” tegasnya.
Pengurus Pusat Studi Pengembangan Bisnis dan Kelembagaan Universitas Padjadjaran (Unpad) Muhamad Rizal pun menilai, jika SE Gubernur Jabar soal UMK 2020 sebagai sebuah terobosan dalam sistem pengupahan.
“Surat edaran ini juga menjamin kenaikan upah. Namun terkait besaran kenaikan, itu menjadi bahan perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerjanya. Soal berapa naiknya, bebas. Tergantung hasil perundingan antara pengusaha dan pekerjanya,” kata Rizal.
Pengusaha garmen di Purwakarta David Hong pun menyambut baik SE Gubernur Jabar soal UMK 2020 yang menjadi angin segar. Jika pengupahan harus mengacu pada UMK, dirinya khawatir perusahaannya akan gulung tikar dan para pekerjanya kehilangan mata pencaharian.
“Jika kami tutup (pabrik), maka 8.000 kerja kami terancam berhenti bekerja. Selama ini, upah rata-rata pekerja kami Rp4 juta per bulan. Dengan besaran upah yang nantinya bisa dirundingkan dengan mengacu pada surat edaran, mungkin perusahaan kami masih bisa bertahan dan pekerja pun tetap memiliki penghasilan,” pungkasnya.
(AS/ars)