BANDUNG,FOKUSJabar.id: Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat menentukan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berbeda dengan tahun sebelumnya. Tahun 2020, Gubernur menetapkan UMK dengan Surat Edaran (SE). Tahun sebelumnya dengan Surat Keputusan (SK).
Untuk tahun 2020, Gubernur Jawa Barat telah mengeluarkan surat edaran 561/75/Yangbangsos tentang pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten/Kota. Diketahui bahwa SE UMK tahun 2020 sesuai dengan rekomendasi dari masing-masing Kepala Daerah yang telah berunding.
Kendati demikian, SE Upah Minimum Kabupaten/Kota yang dikeluar Gubernur masih mendapatakan respon yang kurang baik dari sejumlah serikat pekerja. Karena dengan SE sifatnya tidak mengikat.
Baca Juga: Emil Kritik Penetapan Upah Minimum Tiap Tahun
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, Ade Afriandi mengatakan, pertimbangan perubahan dari SE ke SK karena banyak pengusaha yang mengeluh tidak bisa melakukan perundingan. Pasalnya, sifat SK mengikat.
” Kemudian dengan SK ini selalu menjadi kendala proses penetapan karena jika tidak sesuai maka perusahaan melakukan penangguhan,” kata Ade dalam konfrensi pers, di Gedung Sate jalan Diponegoro, kota Bandung, Jumat (22/11/2019).
Kemudian kata Ade, ini merupakan inovasi dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil agar kaidah penetapan UMK atas dasar perundingan antara pemerintah, pekerja, pengusaha dan serikat pekerja. Kemudian hal ini juga tidak akan memberatkan pengusahan dan UMK tetap beracuan pada Upah Minimum Provinsi (UMP) sehingga UMK tetap naik.
” Kami juga menugaskan untuk pengawasan untuk memantau perusahaan jika ada perusahaan yang memberikan upah dibawah ada UMP, nanti akan kami berikan sanksi,” ujarnya.
Ade menuturkan, hal yang cukup berbahaya ketika penetapan UMK berdasarkan SK gubernur, maka ketika ada perusahaan yang tidak bisa membayar sesuai aturan mereka bisa dipidanakan. Itu justru membuat pelaku usaha tidak nyaman dan memilih mengirimkan surat penangguhan.
Baca Juga: Buruh Diingatkan Tidak Menuntut Upah di Luar Kewajaran
Persoalan itu juga bisa berdampak pada perusahaan yang memilih untuk mengurangi jumlah pegawai atau merelokasi pabrik mereka ke daerah yang ongkos membayar pekerjanya lebih murah.
” Ini yang jadi pertimbangan juga kenapa gubernur lebih memilih menerbitkan SE,” ujar Ade.
Ade menambahkan, satu persoalan lain yang dipertimbangkan lebih jauh dalam penetapan UMK di Jabar adalah angka pengangguran. Menurut Ade, pemerintah daerah telah melakukan diskusi dan menerima masukan dari banyak pihak terkait dengan kenaikan UMK yang layak.
” Meskipun dari surat edaran yang diberikan masih ada pihak yang tidak puas, tapi Pemprov Jabar harus berupaya menjaga iklim usaha pun berjalan baik. Salah satu cara adalah mempertimbangkan tatacara kenaikan UMK,” ujar dia.
Ade menegaskan, pemerintah daerah ingin berusaha agar pekerja tetap bisa bekerja dan mendapat upah layak, sedangkan pengusaha mampu menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan.
” Karena kalau upah naik terus nanti pengusaha tidak bisa bayar dan industri tutup, siapa yang mau bayar gaji karyawan?” tuturnya.
(AS)