BANDUNG, FOKUSJabar.id: Daya serap anggaran di Pemerintah Daerah (Pemda) rendah harus ada perubahan proses lelang yang disederhanakan. Pasalnya, selama ini prosedur yang rumit menghambat laju kerja pembangunan.
Hal tersebut dikatakan anggota DPR RI, Dedi Mulyadi. Kata dia, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian akan menyisir daerah-daerah yang mengalami penyerapan anggaran rendah. Untuk itu, dia mengusulkan perubahan dalam proses lelang proyek pekerjaan di Pemda.
Menurut Dedi, rendahnya penyerapan anggaran di sebuah kelembagaan bisa disebabkan karena ketidaktepatan perencanaan. Lalu, prosedur pengelolaan yang relatif rumit administratif dan rasa takut di kalangan penyelenggara negara.
Mereka takut karena belum sinkronnya berbagai institusi negara terhadap konsen penyerapan anggaran. Untuk mengatasinya, harus ada perubahan mekanisme birokrasi. Salah satunya, penyederhanaan proses lelang.
” Mekanisme pembayaran dilakukan setelah semua pekerjaan selesai dan sudah dilakukan audit,” ucapnya.
Selama ini, pembayaran dilakukan secara bertahap dengan sistem termin. Menurut Dedi, sistem itu tidak efektif dan malah membuat birokrasi kian rumit. Belum nanti jika ada sisa anggaran, penagihan ke pihak ketiga akan susah.
” Bahkan terkadang ada pemborong yang bilang lebih baik dipenjara daripada harus mengembalikan uang. Nah, nanti yang repot Kepala Dinas,” kata Dedi.
Selain itu, dengan sistem saat ini, proses auditnya memakan waktu yang lama. Misalnya, pekerjaannya selesai bulan Juli, nanti diaudit Maret atau April tahun berikutnya. Pekerjaan yang diaudit pun berupa sampel, tidak menyeluruh sehingga dikhawatirkan baiknya kualitas pekerjaan tidak merata.
Menurut Dedi, jika sistem audit dilakukan setelah pekerjaan selesai, maka penyimpangan pengelolaan kegiatan tidak akan pernah ada.
” Kalau akhirnya lelang disederhanakan dan pekerjaan dibayar setelah hasil diaudit, bisa tidur nyenyak,” katanya.
Selain itu, auditor juga harus bisa mempertanggungjawabkan hasil auditnya. Sebab, seringkali terjadi pekerjaan yang selesai tetap menjadi ranah penyelidikan. Jadi akhirnya tidak ada kepastian hukum.
” Saya juga usulkan proses penyelidikan pada sebuah kasus tindak pidana korupsi dilakukan setelah ditemukan adanya kerugian negara. Bukan dibalik. Kerugian negara baru diaudit investigatif setelah panjang dan rumitnya penyelidikan. Itu yang mengakibatkan kelelahan birokrasi,” kata politisi Golkar ini.
Bukan hanya itu, untuk mencegah kebocoran, Dedi mengusulkan komponen produksi, seiring dengan hilangnya struktur eselon, yang dibayar dalam bentuk honorarium pegawai dilakukan setelah produksi selesai.
” Misalnya, pekerjaan senilai Rp 1 miliar dan sudah 100 persen dibayar, itu nanti harus ada komonen dipisah untuk penyelenggara kegiatan. Diambillah misalnya 2 persen dari total pekerjaan untuk honor pegawai,” ujar Dedi.
Dedi juga mengusulkan agar institusi Inspektorat harus diubah pertanggungjawabannya bukan pada bupati, tetapi secara vertikal. Bertanggung jawab langsung ke provinsi dan pusat.
” Atau tempatkan pegawai BPK di daerah, agar pengawasaanya lebih ketat lagi,” tuturnya.
(AS/Bam’s)