Kuasa hukum Iwa Karniwa, Anton Sulthon menjelaskan bahwa kliennya tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau membuat kebijakan apa pun berkaitan dengan perubahan RDTR Kabupaten Bekasi.
Bahkan, Anton mengklaim telah mengantongi bukti bahwa kliennya tidak pernah terlibat dalam rapat pembahasan RDTR Kabupaten Bekasi tersebut.
“Klien kami dapat dikatakan tidak pernah hadir mengenai pembahasan-pembahasan RDTR itu, karena tugas pokoknya sebagai Sekda,” kata Anton dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (4/9/2019).
Anton mengatakan, Iwa tidak punya kewenangan memberi rekomendasi untuk izin proyek Meikarta yang dikaitkan dengan pembahasan revisi RDTR Kabupaten Bekasi yang kala itu tengah dibahas
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Jabar.
Kemudian, kata Anton, kala itu Gubernur Jabar Ahmad Heryawan (Aher) menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Jabar Nomor 120/Kep.242-Bapp/2016 tentang perubahan BKPRD Jabar yang menetapkan ketua BKPRD bukan lagi Sekda Jabar, melainkan Wakil Gubernur Jabar.
Surat keputusan Gubernur Jabar itu mengalami reviai lagi pada 23 Maret 2017. Isinya, memindahkan Sekretariat BKPRD Jabar dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jabar ke Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (DBMPR) Jabar.
Pada 23 November 2017, surat keputusan itu mengalami revisi ketiga dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jabar Nomor 120/Kep.293-DBMTR/2017 yang menyerahkan tugas dan fungsi BKPRD Jabar pada DBMPR.
Anton mengatakan, perjalanan perubahan aturan tentang BKPRD Jabar itu membuat kliennya selaku Sekda Jabar tidak punya wewenang mengambil kebijakan terkait RDTR walaupun menduduki posisi Wakil Ketua BKPRD Jabar.
Tuduhan menerima gratifikasi terkait izin proyek Meikarta, menurutnya, tidak berdasar.
“KPK harus lebih objektif dalam kasus gratifikasi proyek Meikarta yang menetapkan Sekda Jabar sebagai tersangka,” kata dia.
Anton mengatakan, kliennya juga tidak mengetahui soal uang suap yang dituduhkan.
“Kami sebagai kuasa hukum telah menyiapkan bantahan-bantahan, bahkan saksi penting untuk membuktikan janji tersebut tidak pernah ada dan klien kami tidak mengetahui tentang jumlah-jumlah uang yang dituduhkan oleh KPK dan media, apalagi menerimanya,” kata Anton.
Kendati begitu, kata dia, kliennya menghormati keputusan penahanan sebagai proses untuk memperoleh kebenaran dan keadilan di mata hukum.
“Bukan di mata politik,” kata dia.
Untuk diketahui, KPK menetapkan Iwa Karniwa sebagai tersangka dalam pengembangan penyidikan kasus suap izin proyek Meikarta.
KPK menyangka Iwa menerima suap Rp900 juta menyangkut pembahasan substansi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang RDTR Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Perubahan RDTR diperlukan karena proyek Meikarta mencakup lahan yang relatif luas. Setelah ditetapkan statusnya sebagai tersangka, Iwa Karniwa resmi ditahan KPK pada Jumat, 30 Agustus 2019.
(AS)