BANDUNG, FOKUSJabar.id: Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memblokir internet di sejumlah daerah di papua, pasca kejadian rasisme yang dilakukan oknum kepada warga papua. Kominfo beralasan pemblokiran dilakukan untuk memulihkan situasi keamanan dan ketertiban di wilayah yang terjadi kerusuhan.
Namun aksi pemblokiran tersebut, dinilai tidak berdasar. Untuk itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil berencana menuntut pemerintah Indonesia, khususnya Kominfo. Sejumlah organisasi itu antara lain YLBHI, KontraS, LBH Pers Jakarta, Greenpeace, Perkumpulan Jubi dan ELSAM.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan pemerintah tidak bisa menjadikan Pasal 40 Ayat 2A Undang-Undang ITE sebagai dasar pemblokiran internet di Papua. Isnur beralasan pasal itu hanya mengatur tentang pelanggaran yang terjadi pada muatan konten.
Berdasarkan pasal tersebut, pemblokiran bisa dilakukan jika ada konten di media sosial yang melanggar prinsip UU ITE. Itu pun yang harus diblokir adalah kontennya, bukan internetnya.
“Itu namanya abuse of power, mentang-mentang mereka punya kuasa mengatur sistem bisa meminta kepada Telkom, kepada Indosat, kepada XL mematikan semua sistemnya,” ucap Isnur, kutip cnnindonesia, Rabu (28/8/2019).
Selain itu menurut dia, dalam pemblokiran itu ada hak konsumen yang dilanggar serta hak-hak para pekerja seperti jurnalis, hak pendidikan, hingga hak mendapatkan pelayanan pemerintah yang turut tidak terpenuhi karena akses internet diblokir.
“[misalnya] saya sebagai orang yang beli data, bayar, beli handphone, bayar pajak, enggak boleh tiba-tiba dimatikan,” kata dia.
“Kami kasih waktu 14 hari dari hari Senin kemarin untuk kasih tanggapan. Kalau enggak kami akan teruskan ke pengadilan,” lanjutnya.
Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana mengatakan harus ada indikator tertentu untuk menentukan pemblokiran internet.
“Seharusnya pemerintah melakukan deklarasi situasi darurat dan situasi darurat harus memiliki beberapa prakondisi,” kata dia.
Menurut Puri, pemblokiran di Papua melanggar Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Ayat 4 dan 5 yang telah diratifikasi di Indonesia pada 2005. Ia juga menilai ada pembiaran yang dilakukan oleh parlemen.
“Harusnya mendapatkan pengawasan dari Komisi III [DPR RI] terhadap pembatasan hak atas informasi di Papua,” tuturnya.
(Vetra)