Kamis 12 Desember 2024

Pertemuan Mega Dan Prabowo Patut Disyukuri

BANDUNG, FOKUSJabar.id Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi menilai pertemuan ketua umum PDIP Megawati Soekarno Putri dengan ketua umum Gerindra Prabowo Subianto hal yang wajar tidak ada yang lebih dan biasa-biasa.

Bahkan Dedi yang juga ketua Tim Kampaye Daerah (TKD) Jawa Barat mengaku telah memprediksi pertemuan tersebut, kata dia, pertemuan yang dilakukan oleh mereka saat ini itu biasa-biasa saja.

“Sudah diprediksi sejak dulu, artinya kalau muncul sekarang udah enggak aneh, saya sudah memperkirakan,” kata Dedi saat dihubungi, Kamis (25/8/2019).

Dedi menjelaskan, pertemuan dua tokoh nasional tersebut memang menggemparkan di masyarakat. Namun, menurut dia hal tersebut biasa terjadi di dunia politik.

“Sebenarnya cair-cair saja. Bagi saya pertemuan Ibu Mega dan Pak Prabowo biasa -biasa saja karena sebelumnya pernah mencalonkan bersama artinya enggak ada problem,” ucapnya.

Dedi menambahkan, pertemuan Prabowo dan Megawati sepatutnya disyukuri oleh rakyat Indonesia. Dia pun mengimbau kepada masyarakat agar melupakan perseteruan antar pendukung carpes-cawapres di Pilpres 2019. Lanjut Dedi, rakyat saat ini lebih baik mengawasi kerja elit politik di eksekutif dan legislatif.

BACA JUGA: Viral Logo Baru Kemenparekraf, Dari Pujian hingga Disebut Mirip Logo Kampanye Prabowo

“Bagi saya bagus lah, enggak ada lagi ribut-ribut urusan ideologi lagi. Pilkada juga nanti bisa bareng-bareng lagi. Pelajaran penting bagi rakyat, sudah deh, jangan bertengkar mati-matian ngebelain elit. Sudah, biasa saja. Jangan percaya sama pertengkaran elit. Ini musuhannya cuma di sinetron, tapi kadang-kadang penonton terpengaruh,” ujarnya.

Dedi menuturkan, cairnya hubungan politik antara Partai Gerindra dan PDI Perjuangan menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem politik terbuka. Politik pasca reformasi, sambung Dedi, adalah politik terbuka dimana tidak ada konsolidasi ideologis yang terlalu mendalam sampai ke pemilu 2014.

Lebih lanjut Kata Dedi, perang ideologi yang terjadi di Pilpres 2019 dimulai setelah Pilkada DKI 2019, dimana Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang didukung oleh PDI-P sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dinyatakan bersalah oleh hukum karena dianggap telah melakukan penistaan agama.

“Pada Pemilu 2019 pasca-pencalonan Ahok, munculah sentimen politik agama. Sentimen ini kemudian dimanfaatkan untuk membentuk sebuah kubu yang menumpang partai politik sebagai kendaraan,” tuturnya.

Menurut Dedi, hal tersebut menyebabkan terjadinya dua kutub politik. Meski demikian, Dedi mengatakan jika yang menciptakan kutub-kutub politik justru adalah akar rumput. Sementara kondisi elit politik justru akur-akur saja satu sama lain.

“Sebenarnya dari calon tidak ada yang mencerminkan politik aliran baik dari kubu Prabowo Sandi atau kubu Jokowi-Maruf Amin. Tapi kemasan yang dibuat oleh para pendukungnya menjadi kemasan politik aliran. Seperti Pertarungan ideologi. Saya bilang itu kemasan, tapi substansinya tidak ada pada akhirnya,” tuturnya.

(AS)

Berita Terbaru

spot_img