CIAMIS, FOKUSJabar.id : Sejumlah Mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciamis melakukan aksi demonstrasi ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Ciamis. Mereka meminta Kejari untuk menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi yang ada di Ciamis.
HMI menyebut, ada dua dugaan kasus korupsi yang sedang ditangani oleh Kejari Ciamis. Yakni perkara pengadaan finger print UPTD Puskesmas, Kecamatan dan Dinas Pendidikan tahun 2017/2018, serta Revitalisasi Alun-alun Ciamis.
Menurut Koordinator Aksi, Edgar Dzikri, sejauh ini belum ada kejelasan dari Kejari Ciamis terkait kasus tersebut. Lantaran sudah 1 tahun lebih belum ada tindak lanjut dari Kejari.
“Ada dua perkara finger print dan revitalisasi Alun-alun Ciamis. Itu sudah lama sampai saat ini tidak selesai,” ujar Edgar di Kejari Ciamis, Kamis (4/7/2019).
Menurutnya, Kejari Ciamis harus menjalankan tugas, peran, dan fungsi sebagai salah satu lembaga penegak hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
“Kami menuntut Kejari Ciamis untuk terbuka terhadap perkara yang ditangani dan menyelesaikan dengan secepatnya,” tegas dia.
HMI juga menyinggung terkait dugaan kasus korupsi anggaran Mamin dan ATK KPUD Pangandaran tahun 2017. Sampai saat ini kasus tersebut belum juga selesai.
“Buktinya beberapa perkara sampai saat ini belum berakhir dan tak berujung, seperti perkara Mamin dan ATK KPUD Pangandaran tahun 2017, malah ada lagi Fingerprint dan Revitalisasi Alun-alun belum ada kejelasan,” ungkap Edgar.
Sementara itu, menanggapi tuntutan mahasiswa, Kasi Pidsus Kejari Ciamis A. Tri Nugraha mengatakan, pihaknya masih menangani kasus tersebut. Bahkan untuk kasus KPUD Pangandaran saat ini sudah rampung 90 persen. Dalam waktu dekat akan ada penetapan tersangka, selanjutnya akan dinaikan menjadi tahap penuntutan.
“Untuk kasus KPUD Pangandaran sudah ada kerugian negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sekitar Rp 140 juta, itu anggaran ATK dan Mamin tahun 2017. Kenapa lama, karena dari BPKP itu baru ada bulan Mei,” jelasnya.
Sedangkan untuk kasus pengadaan finger print yang pengalokasiannya dari tiga instansi yakni UPTD Puskesmas, Kecamatan dan Dinas Pendidikan sebanyak sekitar 500 unit. Dugaannya, adanya mark up atau kemahalan terhadap pengadaan barang tersebut.
Menurutnya, setelah berkoordinasi dan ekspos dengan BPKP menyatakan, kasus tersebut harus ada keterangan ahli dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
“Kami sudah menyurati LKPP dan minggu depan kami akan melakukan pemeriksaan ahli LKPP. Untuk saksi juga sudah diperiksa sebanyak 25 orang. Kenapa prosesnya lama karena tahapan dilalui termasuk memeriksa saksi,” ucapnya.
(Ibenk)